Lihat ke Halaman Asli

Ironi Duka Jadi Komoditas: Fenomena Mencari Keuntungan di Balik Kematian Nia Kurnia Sari

Diperbarui: 11 Desember 2024   21:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

freepik

Pada 6 September 2024, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh tragedi yang menghilangkan nyawa Nia Kurnia Sari, seorang penjual gorengan asal Padang Pariaman. Nia ditemukan tewas setelah menjadi korban pembunuhan yang dilakukan oleh Indra Septiarman, seorang pria yang pada awalnya membeli gorengan darinya. Kasus ini menyisakan luka mendalam bagi keluarga Nia dan mengundang perhatian publik. Namun, yang lebih mengejutkan adalah bagaimana kematian tragis ini, alih-alih dihormati, justru menjadi komoditas yang diperdagangkan oleh berbagai pihak untuk keuntungan pribadi.

Duka yang Berubah Menjadi Objek Wisata

Kematian tragis Nia Kurnia Sari, seorang penjual gorengan, mengungkapkan ironi yang menyakitkan di tengah masyarakat kita. Nia tewas mengenaskan akibat kekejaman pelaku kriminal yang merampok, memperkosa, dan membunuhnya. Sebagai perempuan yang berjuang keras demi memenuhi kebutuhan hidup, kematian Nia memunculkan simpati dan empati yang luas dari publik. Namun, perhatian ini segera bergeser menjadi fenomena yang mengarah pada eksploitasi duka, menggambarkan betapa tergerusnya moralitas di era digital.

Peristiwa yang seharusnya menjadi pengingat akan ketidakadilan dan kekerasan justru berubah menjadi ajang komodifikasi. Rumah korban dan lokasi kejadian, alih-alih dihormati sebagai tempat mengenang, malah dijadikan objek kunjungan oleh masyarakat yang ingin melihat langsung "wisata tragedi" ini. Bahkan, makam Nia mulai disulap menjadi tempat yang tampak menerima pengunjung dengan berbagai elemen tambahan untuk menarik perhatian. Fenomena ini menjadi semakin absurd ketika orang-orang di sekitarnya-termasuk keluarga korban-memanfaatkan tragedi ini untuk keuntungan material dan popularitas.

Di media sosial seperti TikTok, berbagai konten yang memanfaatkan tragedi Nia terus bermunculan. Tidak sedikit yang membuat video dramatis dengan latar suara korban, bahkan anak-anak kecil menirukan suaranya dengan cara yang menyerupai lelucon. Konten-konten seperti ini sering kali mengedepankan sensasi tanpa memikirkan batasan etika atau penghormatan terhadap korban dan keluarganya. Viralitas tragedi ini menjadi contoh nyata bagaimana duka yang semestinya menjadi ruang privat berubah menjadi tontonan publik yang dipasarkan demi jumlah likes dan followers.

Fenomena ini mencerminkan perubahan signifikan dalam nilai-nilai moral masyarakat. Kehadiran media sosial mempercepat proses komodifikasi, di mana tragedi pribadi berubah menjadi hiburan yang menguntungkan. Pergeseran moralitas ini juga menunjukkan bagaimana empati kolektif terkikis oleh pragmatisme dan dorongan untuk viral. Alih-alih memberikan ruang untuk refleksi dan penyembuhan, masyarakat cenderung terlibat dalam eksploitasi demi keuntungan finansial atau popularitas.

Kematian Nia Kurnia Sari dan respons yang mengikutinya menjadi cermin sosial yang memprihatinkan. Pergeseran moralitas ini mengajarkan bahwa tanpa kesadaran etis, rasa empati yang seharusnya menjadi fondasi interaksi sosial dapat tergantikan oleh dorongan untuk mencari keuntungan. Sudah saatnya kita, sebagai masyarakat, merefleksikan kembali cara kita memandang tragedi dan bagaimana kita merespons duka, baik secara langsung maupun melalui media sosial. Tragedi seperti ini seharusnya menjadi ruang untuk memperjuangkan keadilan, bukan ladang eksploitasi yang mencerminkan betapa dangkalnya nilai-nilai kemanusiaan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline