Lihat ke Halaman Asli

Merangkul Penerus Bangsa di Jalanan Ibukota

Diperbarui: 19 Juli 2019   14:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mulai dari usia sekolah hingga bayi yang belum mengerti kerasnya kehidupan ibukota bisa kita temui di berbagai sudut jalan. Di trotoar, jembatan penyebrangan, kolong jembatan, hingga mengikuti si "ibu" menghampiri satu per satu kendaraan di lampu merah. Berbagai aktivitas dilakukan oleh anak-anak ini, seperti mengemis, mengamen, memulung, hingga berjualan asongan. Merekalah yang biasa kita kenal dengan sebutan anak jalanan (anjal).

Anak jalanan adalah sebuah istilah yang mengacu pada anak-anak tunawisma yang tinggal di wilayah jalanan. Lebih mendetail, menurut UNICEF, anak jalanan yaitu berusia sekitar di bawah 18 tahun dan bertempat tinggal di wilayah kosong yang tidak memadai, serta biasanya tidak ada pengawasan. Situasi dan kondisi jalanan yang sangat keras dapat membahayakan dan mengancam kehidupan anak-anak. Mereka rentan mengalami gangguan kesehatan, putus sekolah, kekerasan fisik, kecanduan rokok, alkohol, narkoba, terlibat perdagangan anak, perilaku seks bebas, dan lain sebagainya.

Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial mencatat, pada tahun 2018 masih terdapat 16.290 anak jalanan di seluruh Indonesia. Mirisnya, ibukota yang dekat dengan rangkulan pemerintah pusat justru menempati urutan kedua tertinggi setelah Provinsi Jawa Barat. Di DKI Jakarta terdapat 2.750 penerus bangsa yang hidup di jalanan dan seakan luput dari perhatian. Tingkat kesejahteraan mereka yang belum terpenuhi menjadi masalah serius di Indonesia.

Namun pemerintah tidak serta-merta lepas tangan terhadap masalah ini. Salah satunya dengan Gerakan Sosial Menuju Indonesia Bebas Anak Jalanan yang dicanangkan oleh Kemensos. Guna menyukseskan program tersebut, tak hanya pemerintah, masyarakat juga diajak terlibat dalam menanggulangi masalah berkepanjangan ini dengan cara menghubungi hotline atau datang ke dinas sosial setempat untuk melaporkan keberadaan anjal.

Begitu pula pemerintah DKI Jakarta yang telah menyediakan Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus bagi anak usia sekolah yang kurang mampu. Sehingga diharapkan tidak ada lagi anak yang putus sekolah dan memilih bekerja di jalanan. Hanya saja, berbagai program yang telah dilaksanakan belum bisa menjaring dan menghentikan 'kelahiran' anak jalanan.

Akar dari masalah sosial ini adalah keadaan sosial. Urbanisasi yang melonjak didasari dengan pola pikir bahwa Jakarta adalah tempat yang menjajikan walaupun hanya bermodalkan badan. Tingkat pendidikan orang tua menjadi salah satu faktor pendukung adanya anjal. Sebagian orang tua masih berpikir bahwa setiap detik pekerjaan yang dilakukan anaknya lebih berharga daripada mengizinkan mereka pergi ke sekolah.

Di sisi lain, aktivitas yang dilakukan anjal sudah dianggap sebagai pekerjaan karena tuntutan ekonomi mengharuskan mereka bertahan hidup dengan berbagai cara. "Yang penting halal" menjadi nilai yang dipegang teguh. Tapi apakah oknum-oknum yang mengeksploitasi bayi di jalanan serta rela menghilangkan bagian tubuhnya hanya untuk dikasihani orang lain masih bisa ditoleransi? Tentu tidak.

Pola komunikasi antara orang tua dan anak dengan lingkungan sekitar juga menjadi hal yang harus diperhatikan. Komunikasi yang baik akan menimbulkan hubungan baik dan nantinya menumbuhkan kepercayaan satu sama lain. Sehingga orang tua akan sadar betapa pentingnya pendidikan bagi anak mereka, generasi penerus bangsa.

Baik orang tua, pemerintah, dan masyarakat sekitar bisa menggunakan pola komunikasi interaksional (Wilber Schramm, 1954) dengan para anjal. Pola ini menitikberatkan pada umpan balik dari berbagai pihak yang bisa digunakan sebagai bahan evaluasi berbagai program yang dijalankan. Proses ini juga digambarkan seperti siklus lingkaran yang menunjukkan bahwa komunikasi terjadi secara terus-menerus. Sehingga penting diterapkan untuk mengubah pola pikir anjal serta para orang tuanya terhadap pendidikan.

Selain pola komunikasi yang harus diperbaiki, Gerakan Sosial Menuju Indonesia Bebas Anak Jalanan belum merata dan terpublikasi dengan baik. Sehingga masyarakat belum tersosialisasi dan ikut serta. Padahal saat ini masyarakat, terutama generasi milenial, memiliki perhatian yang tinggi terhadap isu-isu sosial.

Pemerintah, sebagai pemegang kekuasaan dapat bergerak secara pro-aktif untuk menciptakan interaksi yang baik dengan para anjal dan orang tua. Dapat berupa pendekatan langsung kepada orang tua untuk meningkatkan kesadaran mereka terhadap pentingnya pendidikan anak. Mendirikan sekolah khusus anak jalanan yang jaraknya dekat dari tempat tinggalnya. Sehingga si anak merasa pergi sekolah bukan lagi menjadi beban.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline