Lihat ke Halaman Asli

Kesadaran Politik Perempuan Masa Kini

Diperbarui: 2 Oktober 2019   21:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: www.nj.com

Sebagai salah satu perempuan, saya merasa terdorong dalam menulis tema ini. Masih hangat sisa-sisa perayaan Hari Perempuan Internasional tanggal 8 Maret kemarin. Dengan menjunjung tinggi emansipasi dalam advokasi kesetaraan dalam hak-hak kaum hawa secara politik, ekonomi dan sosial.

Kalau emak-emak di kampung, boro-boro mikirin masalah politik. Mengurusi urusan sumur, dapur, kasur saja sudah pusing dibuatnya. Apalagi harus ikut bergulung dalam ranah politik yang nyatanya tidak lebih menarik dibanding diskon ikan asin. 

Sebenarnya ada sedikit untung kalau musim kampanye tiba, bisa ikut mulung recehan yang disisipkan ke dalam amplop, meski tidak tahu dari mana asal-muasal dana kejutan itu. Yang penting dapur kembali ngebul karena adanya serangan fajar tiba-tiba.

Beda kampung, beda kota. Emak-emak di kota lebih militan kalau sudah membahas masalah politik. Acara gossip langsung diganti dengan acara debat. Kan kalau tahu politik, bisa lebih kece. Barangkali dengan 'pura-pura' tahu politik, nanti disunting jadi timses partai nganuakhirnya kecipratan deh dana pemilu. Sebenarnya sih, falsafahnya tidak beda jauh dengan emak-emak di kampung. Sama-sama ingin menambah kepulan dapur.

Yang namanya diskriminasi dalam politik, ekonomi, dan sosial, saya rasa di Indonesia sudah tidak ada. Karena setiap perempuan Indonesia justru dimotivasi dari berbagai pihak untuk sadar politik dan ikut menyumbang kontribusi dalam ranah publik. 

Karena kemajuan suatu bangsa tidak akan lepas dari peran perempuan juga. Seperti halnya seorang ibu yang menjadi madrasah pertama bagi anaknya, perempuan pun bisa menjadi tokoh pembangun bangsa.

Politik itu digambarkan menakutkan karena banyak oknum yang 'memerkosa' politik sehingga menjadi wajah trauma di kalangan rakyat. Dianggap kotor karena banyak penjahat yang menggunakannya sebagai alat untuk melampiaskan syahwat kekuasaan. 

Namun pada dasarnya politik tidaklah bersalah dan jauh dari perkiraan buruk. Karena politik itu seperti halnya dua sisi mata pisau, bisa melukai dan bisa juga untuk memotong. Melukai dengan cara menyalahgunakan kekuasaan atau bisa untuk memotong ketidakadilan dan kebodohan. Tergantung tokoh politik, mau dipakai seperti apa.

Perempuan sudah seharusnya meningkatkan kesadaran politik baik regional, nasional, atau skala internasional. Berpolitik artinya mengurusi urusan rakyat, bangsa, dan negara bahkan sekecil ranah keluarga. Kenapa demikan? Karena apa yang terjadi pada keluarga tentu memiliki hubungan yang erat dengan apa yang terjadi di negara. 

Secara sadar atau tidak, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah akan berimbas pada tatanan kecil keluarga. Misalnya kebijakan sistem pendidikan, kenaikan harga BBM, perlindungan sosial, dan lain sebagainya, sangat berefek pada lingkup keluarga.

Tokoh politik di Indonesia lebih didominasi kaum berjakun. Menurut Badan Pusat Statistik, hasil survei menyatakan keterlibatan perempuan di parlemen hanya sekitar 17.32 persen di tahun 2015. Menurun dari tahun 2013 sempat mencapai 18.04 persen. Belum ada data terbaru yang ditampilkan pada situs BPS.(1)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline