Lihat ke Halaman Asli

Takut Menulis karena Takut Ditangkap

Diperbarui: 5 Maret 2018   18:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumentasi pribadi

Banyaknya kasus penangkapan karena ujaran kebencian mungkin membuat sebagian orang termasuk saya, berpikir dua kali untuk menulis dengan isi kritikan. Namun hal ini membuat saya merasa tergelitik untuk menulis judul di atas. Untuk seorang penulis amatir, saya sendiri menulis bukan karena ada orang yang meminta saya menulis begini atau begitu. Tapi keinginan sendiri yang terdorong oleh keresahan di hati dan bersinergi dengan akal yang menghasilkan sebuah ide tulisan. 

Terkadang menyikapi keadaan dunia saat ini, saya sebenarnya ingin geleng-geleng kepala. Entah karena kejadian yang terjadi di masyarakat ataupun di jajaran pemerintah sekalipun. Dan hal tersebut mendorong saya untuk menulis semata-mata untuk melepaskan keluh-kesah dan ganjalan di hati. Maka wajar, jika banyak orang yang akhirnya menulis kritikannya di media sosial atau media elektronik. Ada sebab, ada pula akibat. Ada keluhan yang keluar, jelas ada penyebabnya.

Biasanya orang menulis karena ingin mengeluarkan ide yang ada dipikirannya. Tapi pada kenyataannya, tidak semua apa yang ada di kepala dan hati harus dituliskan di dunia publik. Karena orang bisa saja merespon tulisan kita dengan baik ataupun buruk. Seperti kata pepatah tulisan itu bisa jadi dua sisi mata uang, bermanfaat atau berbahaya. 

Jika seseorang memilih untuk menulis yang lempeng-lempeng saja, hal itu karena ada rasa takut. Takut jika ternyata tulisannya dianggap berbahaya dan dianggap provokatif. Padahal orang bijak tentu bisa mengambil manfaat meskipun dari tulisan sampah sekalipun. Justru dengan ini saya mempertanyakan apa yang dinamakan "Kebebasan berpendapat". 

Fenomena penangkapan seorang penulis yang dianggap mengeluarkan ujaran kebencian mungkin ada manfaatnya. Yaitu membuat para penulis agar lebih berhati-hati tentang apa yang ingin dituliskannya. Namun hal ini menjadi tekanan mental untuk sebagian orang. Tidak ada kebebasan untuk mengeluh atau mengeluarkan amarah. Padahal amarah itu manusiawi, seharusnya orang pintar harus pandai mengambil pelajaran dari amarah seseorang. Kenapa orang tersebut marah, apakah kita telah mengambil haknya, atau kita lupa kewajiban yang menjadi haknya, dan lain sebagainya. Bukan malah menyalahkan orang yang marah untuk tidak marah. Semut tidak akan menggigit jika tidak merasa terganggu. 

Orang sejahtera tidak akan mencak-mencak di dunia maya atau media. Mereka akan diam dan menikmati hidup, bertamasya dan keliling dunia. Justru yang perlu digarisbawahi adalah mereka bersuara karena ada 'sesuatu' yang mendorongnya demikian. Apapun motifnya, namun lihat akar permasalahannya. 

Saya rasa hal ini justru akan menjadi tekanan bagi masyakarat. Tertekan karena kondisi sosial dan tertekan karena tak bisa mengekspresikan emosinya. Secara perlahan-lahan membunuh karakter seseorang menjadi penakut dan tertutup. Mungkin saran saya bagi para penulis, jika memiliki keluhan kembali lagi menulis di buku diaryagar tersembunyi dari publik dan tidak akan dianggap provokatif. Setelah itu kubur diarytersebut agar tidak ditemukan seorang manusia pun. Hanya Tuhan yang menjadi saksi bahwa hakmu sebagai manusia tidak dihargai mereka yang mengaku sebagai pemilik kuasa di sebuah negeri bernama negeri dongeng. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline