Konflik yang terjadi di Sudan Selatan dan Sudan Utara semakin membesar karena berkaitan dengan perbedaan ras. Seiring dengan berjalannya waktu, konflik ini mengalami perubahan karena adanya intervensi asing yang ikut masuk di dalam konflik tersebut. Mengingat bahwa letak geografis Sudan Selatan yang kaya akan Sumber Daya Alam, yaitu gas, uranium, dan minyak. Dilihat dari konflik-konflik yang terjadi sebelumnya antara Sudan Utara dan Sudan Selatan, terdapat masyarakat yang tertindas, khususnya pada kebebasan beragama dan juga kesempatan untuk berkontribusi oada bidang perekonomian pemerintah yang tidak merata sehingga menyebabkan konflik antara Sudan Utara dan Sudan Selatan ini menjadi semakin lama. Konflik yang terjadi awalannya masih sebatas serangan kecil yang kemudian ketegangannya semakin tinggi di tahun 1962, karena adanya pemberontakan dari Anyanya yang berasal dari anggota korps tentara, korps ekuatorial, dan pelajar dari Sudan Selatan. Pada tahun 1971 muncul kelompok baru yang bernama Southern Sudan Liberation Movement ( SSLM) yaitu gerakan pembebasan sudan selatan.
Konflik antara pemerintah dan oposisi tidak hanya menghasilkan perbedaan pendapat antara kedua pihak; selain itu, juga mengancam hukum yang relevan. Ratusan orang dari Machar Suku Pendukung di Juba telah bangkit dan menjadi perang sipil yang mantap. Usai perbincangan tersebut, rombongan Nuer sempat berbincang dengan Suku Dinka, Presiden Suku Pendukung Kiir. Serangan-serangan terus mengintensifkan dan menggagalkan perlunya perlindungan oleh warga sipil secara keseluruhan. Kekerasan yang terjadi pasca tuduhan terhadap Machar memperluas sepuluh wilayah bagian di Sudan Selatan, mencapai tujuh. International Crisis Group menerbitkan laporan pada tahun 2014 yang menyatakan bahwa jumlah kematian sejak kekerasan yang terjadi pada bulan Desember 2013 telah melampaui
10.000 jiwa dan telah melampaui 1.000.000 orang yang telah pindah mengungsi.
Secara garis besar terjadinya perang saudara antara Sudan Utara dan Sudan Selatan karena keingana mereka dalam kemerdekaan wilayah tersendiri. Dan yang menjadi latar belakang terjadinya perang tersebut adanya perbedaan etnis, agama dan budaya. Selanjutnya, ada perbedaan di bidang ekonomi, pendidikan, dan politik antara Sudan Utara dan Sudan Selatan. Yang terakhir adalah keinginan rakyat Sudan Selatan untuk merdeka dari Sudan Utara.Partai politik dari Sudan Utara menang dalam pemilihan parlemen Republik Sudan pada awal transisi pemerintahan setelah kemerdekaan Republik Sudan. Namun, selama masa kepemimpinan Sudan Utara, pemerintahannya bertindak diskriminatif terhadap orang Sudan Selatan. Hal ini menyebabkan perlawanan bersenjata di wilayah Sudan Selatan. Singkatnya, perjanjian damai yang lengkap ditandatangani pada tahun 2005 mengakhiri perang saudara Republik Sudan. Perjanjian tersebut memungkinkan masyarakat Sudan Selatan untuk mengadakan referendum, yang akhirnya membawa Sudan Selatan ke kemerdekaan. Republik Sudan Selatan secara resmi didirikan dan diakui oleh PBB pada tahun 2011 (Cesario et al., 2021).
Namun sebelum Sudan Selatan memutuskan untuk merdeka, penulis akan memaparkan implikasi yang terjadi perang saudara pertama tahun 1960 hingga 1972 antara Sudan selatan dan Sudan Utara. Dampak dari konflik tersebut adanya krisis kemanusiaan, dimana terjadinya migrasi besar-besaran warga Sudan Selatan ke negara-negara tetangga sebagai bentuk perlindungan diri dari perang yang terjadi. Dari kejadian tersebut juga menimbulkan banyak anak-anak yang terpisah dengan keluarga mereka. Dimana anak-anak yang terpisah dengan keluarganya harus menghadapi bencana kelaparan dan dari sebagaian anak-anak tersubut di rekrut sebagai anggota baru oleh SPLA/M yang membutuhkan lebih banyak pasukan militer untuk dapat melawan pasukan militer dari pemerintah pusat.
Sehingga anak-anak dari Sudan Selatan yang berusia 7 hingga 17 tahun harus menghadapi kecacatan mental psikis dalam menghadapi perang saudara berlangsung (Faiz Omar Muhammad Jamie, 2011). Para wanita-wanita di Sudan juga mengalami penederitaan yang sangat berat pula. Selama perang saudara Sudan yang kedua pada tahun 1983 hingga 2005 berlangsung, para wanita Sudan di haruskan untuk bekerja keras untuk menyediakan makanan bagi prajurit. Selanjutnya, mereka juga diharuskan untuk menjaga anak-anak selama pengungsian. Karena kemiskinan, mereka harus putus sekolah. Selain itu, mengakibatkan kemiskinan yang semakin meningkat. Membuat para wanita untuk memperdagangkan seks hanya untuk mendapatkan sesuap makanan. Selain itu, wanita di kamp pengungsian sering diculik dan kemudian diperkosa oleh para tentara. Akibatnya, ada penularan HIV yang tidak dapat dihindari. Dilaporkan bahwa infeksi HIV/AIDS di Sudan Selatan telah mencapai tingkat epidemi (Zaynab Elsawi, 2011). Serta implikasi dari perang saudara kedua Sudan dan Sudan Selatan keduanya menyebabkan lebih dari 1 juta hingga 2 juta kematian. Selain itu, bencana kekeringan yang terjadi sejak tahun 1980 menyebabkan bencana kelaparan, yang menyebabkan sebagian besar orang meninggal dunia dan sebagian lainnya mengalami penyakit kekurangan gizi.
Kemudian setelah Sudan Selatan memutuskan untuk referendum memisahkan diri dengan Sudan Utara, konflik masih saja terus berlangsung di antara kedua negera tersebut. Terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan konflik Sudan dan Sudan Selatan masih terus berlanjut. Pertama, adanya konflik mengenai minyak. Dikarenakan Sudan tidak setuju dengan keputusan Sudan Selatan merdeka karena ladang minyak yang masih sangat anktif beroprasi pada saat itu akan menjadi berada di wilayah resmi Sudan Selatan. Tentara Sudan menyerang wilayah Abyei yang masih menjadi subjek konflik antara Sudan dan Sudan Selatan, yang terkenal memiliki banyak minyak di sana. Di wilayah Abyei, ladang minyak menghasilkan hingga 76.600 barel per hari. Serangan tentara Sudan ke Abyei terjadi pada musim semi tahun 2011, yang menghancurkan properti penduduk dan menyebabkan 110.000 anggota suku NgokDinka kehilangan tempat tinggal. Kemudan fakor terjadinya konflik yang kedua adalah konflik perbatasan. Pembicaraan tentang perbatasan antara kedua negara masih belum selesai, terutama di daerah Kordofan Selatan, Nil Biru, dan kota Abyei. Selain itu, kedua negara menuduh satu sama lain mendukung aktivitas pemberontak di wilayah mereka sendiri. Dan faktor yang ketiga konflik internal di Sudan Selatan terjadi antara Presiden Salva Kiir dan mantan Wakil Presiden RiekMachar (Cahyanti, 2017).
Secara garis besar terjadinya perang saudara antara Sudan Utara dan Sudan Selatan karena keingana mereka dalam kemerdekaan wilayah tersendiri. Dan yang menjadi latar belakang terjadinya perang tersebut adanya perbedaan etnis, agama dan budaya. Selanjutnya, ada perbedaan di bidang ekonomi, pendidikan, dan politik antara Sudan Utara dan Sudan Selatan. Yang terakhir adalah keinginan rakyat Sudan Selatan untuk merdeka dari Sudan Utara.Partai politik dari Sudan Utara menang dalam pemilihan parlemen Republik Sudan pada awal transisi pemerintahan setelah kemerdekaan Republik Sudan. Namun, selama masa kepemimpinan Sudan Utara, pemerintahannya bertindak diskriminatif terhadap orang Sudan Selatan. Hal ini menyebabkan perlawanan bersenjata di wilayah Sudan Selatan. Singkatnya, perjanjian damai yang lengkap ditandatangani pada tahun 2005 mengakhiri perang saudara Republik Sudan. Perjanjian tersebut memungkinkan masyarakat Sudan Selatan untuk mengadakan referendum, yang akhirnya membawa Sudan Selatan ke kemerdekaan. Republik Sudan Selatan secara resmi didirikan dan diakui oleh PBB pada tahun 2011 (Cesario et al., 2021).
Namun sebelum Sudan Selatan memutuskan untuk merdeka, penulis akan memaparkan implikasi yang terjadi perang saudara pertama tahun 1960 hingga 1972 antara Sudan selatan dan Sudan Utara. Dampak dari konflik tersebut adanya krisis kemanusiaan, dimana terjadinya migrasi besar-besaran warga Sudan Selatan ke negara-negara tetangga sebagai bentuk perlindungan diri dari perang yang terjadi. Dari kejadian tersebut juga menimbulkan banyak anak-anak yang terpisah dengan keluarga mereka. Dimana anak-anak yang terpisah dengan keluarganya harus menghadapi bencana kelaparan dan dari sebagaian anak-anak tersubut di rekrut sebagai anggota baru oleh SPLA/M yang membutuhkan lebih banyak pasukan militer untuk dapat melawan pasukan militer dari pemerintah pusat.
Sehingga anak-anak dari Sudan Selatan yang berusia 7 hingga 17 tahun harus menghadapi kecacatan mental psikis dalam menghadapi perang saudara berlangsung (Faiz Omar Muhammad Jamie, 2011). Para wanita-wanita di Sudan juga mengalami penederitaan yang sangat berat pula. Selama perang saudara Sudan yang kedua pada tahun 1983 hingga 2005 berlangsung, para wanita Sudan di haruskan untuk bekerja keras untuk menyediakan makanan bagi prajurit. Selanjutnya, mereka juga diharuskan untuk menjaga anak-anak selama pengungsian. Karena kemiskinan, mereka harus putus sekolah. Selain itu, mengakibatkan kemiskinan yang semakin meningkat. Membuat para wanita untuk memperdagangkan seks hanya untuk mendapatkan sesuap makanan. Selain itu, wanita di kamp pengungsian sering diculik dan kemudian diperkosa oleh para tentara. Akibatnya, ada penularan HIV yang tidak dapat dihindari. Dilaporkan bahwa infeksi HIV/AIDS di Sudan Selatan telah mencapai tingkat epidemi (Zaynab Elsawi, 2011). Serta implikasi dari perang saudara kedua Sudan dan Sudan Selatan keduanya menyebabkan lebih dari 1 juta hingga 2 juta kematian. Selain itu, bencana kekeringan yang terjadi sejak tahun 1980 menyebabkan bencana kelaparan, yang menyebabkan sebagian besar orang meninggal dunia dan sebagian lainnya mengalami penyakit kekurangan gizi.
Kemudian setelah Sudan Selatan memutuskan untuk referendum memisahkan diri dengan Sudan Utara, konflik masih saja terus berlangsung di antara kedua negera tersebut. Terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan konflik Sudan dan Sudan Selatan masih terus berlanjut. Pertama, adanya konflik mengenai minyak. Dikarenakan Sudan tidak setuju dengan keputusan Sudan Selatan merdeka karena ladang minyak yang masih sangat anktif beroprasi pada saat itu akan menjadi berada di wilayah resmi Sudan Selatan. Tentara Sudan menyerang wilayah Abyei yang masih menjadi subjek konflik antara Sudan dan Sudan Selatan, yang terkenal memiliki banyak minyak di sana. Di wilayah Abyei, ladang minyak menghasilkan hingga 76.600 barel per hari. Serangan tentara Sudan ke Abyei terjadi pada musim semi tahun 2011, yang menghancurkan properti penduduk dan menyebabkan 110.000 anggota suku NgokDinka kehilangan tempat tinggal. Kemudan fakor terjadinya konflik yang kedua adalah konflik perbatasan. Pembicaraan tentang perbatasan antara kedua negara masih belum selesai, terutama di daerah Kordofan Selatan, Nil Biru, dan kota Abyei. Selain itu, kedua negara menuduh satu sama lain mendukung aktivitas pemberontak di wilayah mereka sendiri. Dan faktor yang ketiga konflik internal di Sudan Selatan terjadi antara Presiden Salva Kiir dan mantan Wakil Presiden RiekMachar (Cahyanti, 2017).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H