Setiap aktivitas kehidupan kita tak lepas dari penggunaan material yang menggunakan energi listrik, baterai dan lainnya atau barang-barang elektronik.
Namun, bagaimana kita bertanggung jawab terhadap timbulnya E-Waste yang masuk dalam kriteria Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (LB3) dan menyikapi secara bijak atas pengendalian yang harus kita lakukan.
Indonesia telah memiliki regulasi namun mekanismenya belum berjalan sesuai harapan. Berikut artikel sederhana mengenai penanganan limbah elektronik sebagai tambahan wawasan pengetahuan.
Limbah elektronik merupakan perlatan elektronik dan elektrikal yang tidak dipakai atau tidak berfungsi atau tidak diiinginkan lagi karena telah menjadi barang yang kadaluwarsa dan perlu dibuang, baik itu dalam bentuk untuk maupun tidak utuh lagi. edangkan menurut US EPA, barang elektronik yang mencapai atau telah pada akhir masa pakai dikategorikan sebagai limbah elektronik.
Menurut European Union (2012), definisi peralatan elektronik yaitu peralatan yang membutuhkan arus listrik atau medan elektromagnet untuk bekerja, sebagai pembangkit, transfer, maupun pengukuran arus listrik pada muatan tertentu.
Peralatan elektronik yang termasuk limbah elektronik adalah alat elektronik yang sudah dibuang, termasuk semua komponen, bagian rakitan dan bagian produk terpakai yang telah habis masa pakainya.
Limbah elektronik mengandung komponen yang dikategorikan sebagai bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti timbal, merkuri, arsenik, kadmium, selenium, dan retardan api yang apabila melampaui jumlah ambang batas akan menjadi ancaman serius bagi kesehatan dan mencemari lingkungan, baik tanah, udara, dan air.
Ancaman terhadap kesehatan dari bahan berbahaya dan beracun yang dikandung dalam limbah elektronik antara lain dapat meracuni manusia dan merusak sistem saraf, mengganggu sistem peredaran darah, ginjal, perkembangan otak anak, alergi, kerusakan DNA, serta menyebabkan cacat bawaan, mengganggu peredaran darah, ginjal, dan kanker (Sudaryanto et al., 2009).
Indonesia sebagai negara berkembang, sangat rentan dengan masalah limbah elektronik sebab banyak produk elektronik dan mesin-mesin bekas dari luar negeri banyak hadir di Indonesia padahal di negara asalnya sudah dinyatakan tidak layak dan berpotensi mencemari lingkungan (Kuhurima, 2015).
Limbah elektronik yang ditemukan umumnyahanya bagian dari komponen elektronik atau komponen suku cadang yang biasanya dikirim kembali ke pabrik perakitan.
Hal ini menunjukkan bahwa ada sistem tidak resmi yang menyerap sebagian besar limbah elektronik di Indonesia, yaitu adanya temuan aliran material barang-barang elektronik bekas (secondhand) dan aliran limbah elektronik.