Lihat ke Halaman Asli

Politik Identitas dalam Perspektif Islam: Analisis Kampanye Publik Menjelang Kontestasi Pemilu 2024

Diperbarui: 12 Juli 2023   14:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tafsir Suroh Ali Imran 28-30

Pemilihan Umum tahun 2024 akan menjadi momen penting bagi Indonesia, karena pada tanggal 14 Februari 2024, seluruh rakyat akan memilih anggota DPR, DPRD, DPD, dan Presiden secara serentak. Keputusan untuk menyelenggarakan Pemilu serentak ini diharapkan dapat menghemat anggaran dan efisiensi waktu dibandingkan dengan pemilu terpisah antara legislatif dan presiden. Setelah Pemilu serentak, perhatian akan beralih ke Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024, dimana pemilih akan memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota di berbagai daerah, (Firmanto, 2023).

Pemilihan Umum pada tahun 2024 diperkirakan akan kembali menghadirkan fenomena politik identitas yang telah menjadi perhatian dalam konteks pemilu sebelumnya, seperti pada pemilu tahun 2019. Dijelaskan oleh Wally (2023), bahwa isu politik identitas sering kali muncul dengan asumsi agama sebagai salah satu faktor utama. Para aktor politik seringkali memanfaatkan isu-isu agama untuk memperoleh dukungan dari kelompok-kelompok tertentu. Dalam hal ini, partai politik dengan kader-kader yang mereka andalkan akan menonjolkan identitas-identitas tertentu dalam upaya menarik dukungan dari kelompok-kelompok yang memiliki identitas serupa.

Namun, semakin seringnya politik identitas muncul, dampak negatifnya juga semakin terasa. Politik identitas seringkali dikonotasikan dengan strategi politik yang hanya mengedepankan identitas tanpa memperhatikan gagasan atau kualitas. Fenomena politik identitas ini memiliki dampak yang signifikan, di mana kandidat yang berpartisipasi dalam pemilihan umum cenderung mengabaikan kualitas dan kebijakan yang mereka tawarkan, karena lebih fokus pada isu identitas. Selain itu, kampanye politik yang mengedepankan identitas agama secara masif juga berpotensi membatasi ruang diskusi mengenai kebijakan politik dan mendorong munculnya tindakan diskriminatif, (Sulistyo, 2021).

Menurut Muhtadi (2019), fenomena politik identitas yang dipadukan dengan populisme agama dapat menjadi ancaman bagi demokrasi, terutama jika dimanfaatkan oleh pemimpin yang kurang berkualitas. Politik identitas dapat menghasilkan pandangan bahwa orang yang tidak memiliki identitas yang sama tidak pantas untuk memimpin. Hal ini berdampak negatif terhadap kelompok minoritas yang kehilangan hak yang setara dalam partisipasi politik, terutama dalam konteks pemilu dan pemilihan. Lebih jauh lagi, penggunaan politik identitas secara berlebihan dapat mengancam integritas demokrasi secara keseluruhan.

Dalam perspektif Dalam perspektif Islam, prinsip-prinsip komunikasi yang terkandung dalam Al Quran dapat memberikan landasan etis bagi kampanye politik. Al Quran mengajarkan prinsip-prinsip seperti qaulan baligha (ucapan yang jelas), qaulan karima (ucapan yang mulia), qaulan marufa (ucapan yang baik), qaulan layyina (ucapan yang lembut), qaulan maysura (ucapan yang bersahaja), dan qaulan sadida (ucapan yang lurus). Prinsip-prinsip ini dapat menjadi pedoman bagi para politisi dalam berkomunikasi dengan publik, (Dzulhusna Dkk 2022).

Qaulan baligha dikutip dari Muzakkir (2022), mengajarkan pentingnya menyampaikan pesan dengan jelas dan terbuka, tanpa menyembunyikan fakta atau menyimpang dari kebenaran. Politisi harus berkomitmen untuk memberikan informasi yang akurat dan transparan kepada publik, sehingga pemilih dapat membuat keputusan yang cerdas dan berdasarkan fakta yang jelas. Selanjutnya, qaulan karima yang menurut Dzulhusna Dkk (2022), mengajarkan pentingnya mengungkapkan ucapan yang mulia dan penuh penghargaan. Dalam kampanye politik, politisi harus menghindari retorika yang merendahkan atau memfitnah lawan politik. Sebaliknya, mereka harus berusaha untuk menyampaikan pesan dengan sikap yang santun dan penuh rasa hormat, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk dialog dan diskusi yang sehat. Seperti yag telah dijelaskan dalam Al-Qur'an Ali' Imran ayat 28 yang berbunyi:

Artinya: "Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah tempat kembali." (QS. Ali' Imran ayat 28)

Prinsip qaulan ma'rufa yang dikutip dari Idris (2020), menekankan pentingnya berkomunikasi dengan kata-kata yang baik dan mengedepankan kebaikan. Politisi harus memilih bahasa yang menginspirasi dan membangun, mempromosikan ide-ide yang positif dan memberikan solusi bagi permasalahan masyarakat. Dalam berkomunikasi, mereka harus memperhatikan kepentingan bersama dan berusaha untuk menciptakan persatuan dan kerukunan di tengah perbedaan.

Kemudian, qaulan layyina mengajarkan politisi untuk menggunakan ucapan yang lembut dan menjaga empati dalam berkomunikasi. Mereka harus mendengarkan dengan saksama dan memberikan respon yang menghormati pandangan dan perasaan orang lain. Dalam kampanye politik, politisi harus mampu menyampaikan pesan dengan cara yang tidak menyinggung atau menyakiti hati masyarakat, sehingga tercipta suasana yang harmonis dan damai.

Terakhir, qaulan maysura dan qaulan sadida mengajarkan politisi untuk berkomunikasi dengan cara yang bersahaja dan lurus. Mereka harus menghindari sikap yang manipulatif atau bermaksud buruk dalam berkomunikasi. Dalam kampanye politik, kejujuran dan integritas adalah hal yang penting. Politisi harus berkomitmen untuk berbicara dengan jujur dan memegang teguh nilai-nilai kebenaran, (Dzulhusna Dkk 2022).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline