Latar belakang
Anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Demokrat, Ongku P Hasibuan, mengusulkan agar anggota penyelenggara pemilu diisi oleh utusan partai politik (parpol). Menurut Ongku, jika anggota penyelenggara pemilu berasal dari parpol, mereka akan dapat saling mengawasi satu sama lain. Usulan ini diajukan dalam rapat kerja Komisi II dengan KPU di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, pada Rabu, 15 Mei 2024.
Ongku berpendapat bahwa persyaratan independensi bagi penyelenggara pemilu hanyalah "omong kosong." Menurutnya, independensi sebenarnya tidak sepenuhnya tercapai karena ada keterkaitan dengan organisasi tertentu yang terafiliasi dengan pihak lain. Oleh karena itu, Ongku mengusulkan agar anggota KPU dan Bawaslu dapat diisi oleh utusan dari partai politik. Dengan demikian, biaya yang dikeluarkan juga dapat lebih efisien.
Menurut usul Ongku, masing-masing parpol akan memiliki utusan di KPU dan Bawaslu. Dengan tidak adanya proses seleksi panitia seleksi (pansel), biaya yang sebelumnya diperlukan untuk proses seleksi dapat dihemat. Ongku juga menekankan bahwa model ini dapat diterapkan tidak hanya pada tingkat pusat, tetapi juga pada tingkat daerah.
Dengan adanya sistem ini, saksi pemilu tidak perlu lagi dipekerjakan secara terpisah, karena anggota penyelenggara pemilu yang berasal dari parpol secara otomatis akan berperan sebagai saksi. Akibatnya, biaya yang dikeluarkan untuk pemantauan pemilu akan lebih rendah.
Opini
Opini saya sebagai mahasiswa ilmu hukum adalah, bahwa pernyataan ini tentu saja menyalahi aturan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022. PKPU ini bertujuan untuk memastikan integritas dan profesionalisme anggota KPU dalam menjalankan tugasnya. Mengisi KPU dan Bawaslu dengan utusan parpol berpotensi mengurangi netralitas dan meningkatkan konflik kepentingan. Independensi KPU dan Bawaslu adalah prinsip dasar yang harus dipertahankan untuk memastikan bahwa proses demokrasi berjalan dengan adil dan transparan. Daripada menggantikan independensi dengan utusan parpol, lebih baik memperkuat mekanisme pengawasan dan akuntabilitas untuk memastikan bahwa KPU dan Bawaslu benar-benar bekerja sesuai dengan mandat mereka.
Lalu, argumen bahwa KPU dan Bawaslu yang diisi oleh utusan parpol akan mengurangi biaya operasional memang patut dipertimbangkan. Dengan utusan dari parpol, anggaran yang biasanya digunakan untuk proses seleksi dan penggajian anggota independen dapat dialihkan ke kebutuhan lain. Namun, efisiensi anggaran tidak boleh mengorbankan integritas dan kepercayaan publik terhadap proses pemilu. Transparansi dan kejujuran dalam pemilu adalah pilar demokrasi yang tidak bisa dikompromikan hanya demi penghematan biaya.
Usulan anggota DPR Demokrat ini memang menawarkan pandangan berbeda, namun perlu dipertimbangkan secara matang mengingat dampak jangka panjang terhadap kepercayaan publik dan integritas proses pemilu.
Dinda Cinthya Sari
Mahasiswa Fakultas Hukum