Lihat ke Halaman Asli

Jalan Terjal Perempuan Menuju Legeslator

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Memperingati Hari Kartini, puluhan aktivis perempuan Sumatera Utara mengkritisi pemilihan umum legeslatif pada 9 April lalu sebagai Pemilu yang paling buruk, khususnya dalam keberpihakan dan penerimaan legeslator perempuan di kancah politik. Banyak indikasi-indikasi kecurangan yang dilakukan oknum-oknum calon legeslatif (Caleg), para tim sukses, dan pejabat-pejabat penyelenggara Pemilu. Serta kehadiran para Caleg tersebut hanya untuk memenuhi kuota keterwakilan perempuan. Hal ini terungkap dalam  diskusi di kantor Pesada pada Jumat (25/4) yang di hadiri Caleg dan anggota dewan yang masih menjabat saat ini. Para aktivis perempuan, jurnalis perempuan dari Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Sumatera Utara dan perwakilan lembaga yang beroreintasi perempuan.

Nurhasanah dari Partai Demokrat mengatakan, tahun 2009 adalah tahun emas-nya perempuan masuk di ranah politik walau sudah dan tetap ada kecurangan-kecurangan di mana-mana. "Saya duduk saat ini bukan berarti saya melewati proses Pemilu jujur pada 2009 lalu. Lembaga-lembaga penyelenggara lebih banyak diam dan membiarkan padahal mereka tau ada kecurangan, dan saat ini malah lebih parah. Tapi saya belajar dari semua itu pada 9 April lalu," kata Nurhasanah.  Ditanya soal lembaga penyelenggara yang diam dan membiarkan pelanggaran terjadi, dia menuding Panitia Pengawas (Panwas). "Panwas diam saat kita laporkan banyaknya kecurangan, mereka bilang saat itu, "Kami makan apa nanti kalau ini di bongkar?!," ujarnya sedikit emosional.

Pernyataannya ini dibenarkan Caleg Wiwid dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Sri Kamila Parinduri (PDI Perjuangan), dan Tetty dari Partai Nasdem. Para perempuan ini sepakat menyatakan, serangan fajar, money politik, kecurangan di tingkat penyelenggara Pemilu, minimnya dana yang di miliki dan tidak adanya pembekalan politik oleh partai kepada Caleg perempuan menjadi hambatan terbesar. "Belum duduk saja kita sudah dibebani dengan dana 'gotong-royong partai', bagaimana nanti kalau sudah duduk? Persoalan makin runyam ketika suara-suara kita hilang dengan alasan tidak jelas dan masuk akal. Dan tidak ada sanksi tegas dari lembaga penyelenggara terhadap semua kecurangan padahal bukti-bukti kita punya. Saksi, Panwas dan KPU tak berjalan sesuai Tupoksinya," kata Tetty yang diamini Wiwid dan Mila.

Belum lagi, lanjut mereka, pembunuhan karakter dan persaingan tidak sehat yang dilakukan sesama perempuan dan laki-laki. Perempuan mendukung perempuan belum sepenuhnya menjadi dokrin bersama dan ini menjadi permasalahan ditingkat internal aktivis dan perempuan yang sudah memiliki jabatan dan kedudukan. Gerakan dan dukungan dari penggiat kesetaraan gender terpecah, ada yang tak mau tau sama sekali karena tidak saling kenal atau trauma. "Padahal selalu ada ruang yang mendiskreditkan perempuan dan ini membuat semua perempuan gerah, tapi tidak melakukan apa-apa," kata Mila sambil menambahkan, saat mulai memilih terjun menjadi calon wakil rakyat, hal pertama yang dia lakukan adalah berkoordinasi dengan jaringan-jaringan aktivis perempuan dan membuat basis konstituen di level akar rumput.

Menanggapi itu, Dina Lumbantobing dari Pesada mengakui memang ada trauma di tingkat internal aktivis perempuan dalam memberi dukungan. Konsentrasi gerakan sebelum 9 April 2014 adalah bagaimana mendudukan perempuan di level Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan di Panwas. Alasannya, tidak semua Caleg perempuan mau membuka diri untuk bergabung menyusun strategi dengan aktivis perempuan, bahkan setelah duduk di dewan. "Kita tidak saling mengenal, kami tidak punya nama-nama Caleg yang maju dan ketika mereka menangpun, tidak ada ruang untuk berkomunikasi dan menyatukan pikiran dalam membuka akses untuk keterlibatan perempuan disemua lini. Apalagi memperjuangkan hak-hak perempuan?" ucap Dina yang dibenarkan Elvy dari KPAID Sumut.

"Kita perlu mengkaji kegagalan Pemilu kali ini dengan saling intropeksi diri. Lalu mengumpulkan fakta dan bukti untuk menjadi laporan ke Panwas dan KPU. Mengadvokasi para Caleg perempuan yang menjadi korban dan menuntut diskualifikasi para Caleg terpilih yang terindikasi curang," tegasnya. Pihaknya juga akan melakukan survey dan kejian tingkat keberpihakan perempuan untuk memilih perempuan dan akan mengekspos semuanya ke media dan membuat buku. "Kita perlu melakukan pendidikan politik yang berkesinambungan bagi Caleg perempuan agar mereka diperhitungkan dan potensial. Dan mempertanyakan peran pemberdayaan perempuan yang lebih signifikan untuk mendukung perempuan di politik," pungkasnya.

Sementara itu, Kepala Divisi Hukum dan HAM FJPI Sumatera Utara, Mei Leandha mengatakan, banyak pihak-pihak yang tidak siap duduk sejajar dengan perempuan dan menganggap kekuatan perempuan sebagai musuh yang harus di matikan. Kecurangan-kecurangan yang terjadi adalah salah satu indikator bahwa kehadiran perempuan di arena politik masih di anggap belum mampu, tak pantas atau berlebihan. Pandangan ini tidak hanya dari laki-laki, beberapa perempuan juga melakukan sama. Belum terlambat untuk mengkaji kelemahan kita, penguatan simpul perempuan menjadi agenda awal sebelum masuk ke pendidikan politik untuk meningkatkan potensi dan daya saing.

"Juga ku pikir, sudah saatnya kita merubah pakem bahwa kalau ingin merubah sistem maka masuklah ke dalam sistem, ini salah. Karena tanpa masuk ke dalam sistempun kita tetap bisa berbuat banyak dan berguna. Tidak ada jaminan ketika duduk nanti, perjuangan terhadap hak-hak perempuan menjadi prioritas. Kebanyakan malah lupa, jadi untuk apa berebut kue dewan yang kotor dan penuh kecurangan itu?!" tegasnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline