Lihat ke Halaman Asli

Media Mural sebagai Media Kritik Masyarakat

Diperbarui: 9 Juni 2022   11:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dinding menjadi medium penyampaian percakapan warga negara. Di sisi yang lain, secara yuridis-normatif, ruang percakapan warga negara dalam persoalan publik tak lain berada di ruang parlemen. Tersumbatnya ruang percakapan antara warga negara dengan melalui ruang formal seperti di parlemen ini tentu praktik yang tidak dibenarkan. Sejumlah persoalan yang mengemuka di tengah masyarakat tak dapat ditangkap dengan baik oleh parlemen. Bila pun muncul tanggapan, sifatnya seremoni yang tak banyak memberi dampak dalam bentuk kebijakan publik yang ajek. Mural yang belakangan mencuat merupakan ruang artikulasi warga negara terhadap obyek persoalan yang kini tengah dihadapi. Hal ini muncul lantaran ruang percakapan formal yang tersedia tak difungsikan dengan baik.

Fenomena mural sudah muncul di era perjuangan kemerdekaan, mural pada masa kemerdekaan juga memiliki tujuan yang sama yaitu menyuarakan jeritan suarat rakyat.Fungsinya sebagai alarm peringatan bagi pemerintah agar lebih sensitif. Kritikan dari mural itu tidak bisa di bilang sebagai sindiran atau mencemooh semata namun, hal tersebut merupakan hal yang sah dalam kehidupan demokrasi. Seni mural menggabungkan dua unsur dalam sebuah karyanya yaitu penggunaan diksi dan visual yang dimana keduanya disatukan untuk mengetuk perasaan orang-orang karena ada suatu kondisi mendesak menyangkut hidup mereka.

Aksi seni mural merupakan salah satu cara lain dari rakyat untuk melakukan protes terhadap kegelisahan dari berbagai kebijakan pemerintah selama ini. Termasuk ingin memberitahukan bahwa masih banyak persoalan yang nyata rakyat yang belum tersentuh sama sekali. Dengan cara seperti ini rakyat ingin meminta pemerintah agar dapat lebih memperhatikan nasib semua rakyatnya. 

Kritikan yang digambar dengan karya seni ini merupakan sebuah bukti tumbuhnya kepedulian masyarakat terhadap nasib rakyat yang artinya partisipasi aktif masyarakat kian terlembaga dengan baik. Selama ini juga Presiden Jokowi pernah menyatakan bahwa pemerintah selalu dan akan membuka ruang yang luas agar publik bisa untuk melakukan kritik. Artinya, yakni kritikan melalui sebuah bungkusan seni harus bisa diambil hikmahnya sebagai bentuk perhatian publik terhadap jalannya pemerintahan. Mural saat ini sudah bnayak di sudut-sudut kota terutama di tembok-tembok rolling door, gedung, jembatan, bangunan yang sudah tidak berpenghuni bahkan fasilitas umum lainnya, mural juga diartikan sebagai lukisan yang tidak bisa dilepaskan dari bangunan dalam hal ini dinding.

kritik sosial dengan aksi seni seperti mural, tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Aksi seni mural merupakan sebuah hal yang wajar dan harus terus dibangun dalam iklim demokrasi, sebab di era demokrasi ini, semakin banyak kritik yang bermunculan dari rakyat, semakin membuktikan bahwa proses demokratisasi di Indonesia kian terlembaga dengan baik. Untuk saat ini partisipasi publik itu semakin tumbuh karena didorong oleh budaya digital sebagai dampak dari kehadiran media sosial. Budaya digital yang terlahir dari media sosial, salah satunya adalah menguatnya kultur partisipasi dalam nalar kewargaan. Sebagai dampak dari partisipasi ini, apabila ada upaya penekananya, maka akan timbul perlawanan. 

Artinya, bila kemudian aksi seni mural ini dibungkam, tentu akan semakin banyak bermunculan aksi serupa dilarang tentu akan semakin bermunculan aksi protes seperti ini. Dengan begitu, sudah tidak tepat lagi aksi seni seperti ini kemudian harus kita lawan dengan segala bentuk pembungkaman. Justru sebaliknya pemerintah kedepan harus dapat membuka ruang dialog yang seluasnya agar kebijakan yang diciptakan tetap merakyat dan bukan hanya kepentingan segelintir elite politik semata. 

Apalagi di tengah situasi dan kondisi akibat pandemi COVID-19, mural-mural kritikan menjamur di Indonesia akan tetapi mural tersebut dihapus oleh pemerintah dikarenakan dianggap tidak memiliki izin seperti mural yang bertuliskan "Wabah Sesungguhnya Adalah Kelaparan", "Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit" dan "Tuhan Aku Lapar", itu semua merupakan penyampaian rakyak yang dituangkan dalam bentuk seni. Untuk penghapusan mural sendiri sebenarnya sudah biasa tetapi persoalannya yang sering terjadi yaitu aparat juga memburu pembuat muralnya. Sikap aparat yang terus merepresi seni mural di sudut-sudut kota dinilai tidak akan membuat para pembuat mural kapok yang dimana semakin bersifat reaktif maka semakin banyak pula mural-mural yang baru di lapangan. Alasan aparat menghaspus mural yaitu merusak pemandnagan atau mengganggu ketertiban umum akan tetapi itu semua tidak berlaku untuk baliho-baliho politik yang ada di sudut jalan. 

Adapun mural yang memiliki nilai estetik dengan adanya konsep tertentu yang dimana aspek dekat dengan lingkungan merupakan representasi dalam karya mural yang akan dia gambar. Kritik yang dilakukan melalui pendekatan seni mural tak jarang memberikan dampak positif bagi kebiasaan di lingkungan sekitar. Meski stigma seni mural yang menjadikan ruang publik kerap di cap negatif, namun sejatinya berkat kaya mereka juga kebiasaan berubah. Karena pada dasarnya setiap gambar mural berbicara atas kondisi lingkungan di sekitarnya. Tak jarang, sebuah kritik sosial dari kehidupan nyata lebih berbicara lewat karya mural. Masyarakat melihat mural ini sebagai sebuah estetika tersendiri dimana banyak nya masyarakat yang mengabadikan mural di jalanan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline