Lihat ke Halaman Asli

Dinda Alifia

mahasiswa

Review Jurnal Urgensi KUHD dalam Menangani Risiko Kejahatan Siber Pada Transaksi E-Commerce

Diperbarui: 14 Desember 2024   01:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

  • Jurnal : Journal of Law, Administration, and Social Science
  • Volume, Nomor, dan Halaman : Volume. 02, Nomor. 01, Halaman. 45-55
  • Tahun : 2022
  • Penulis : Eka Nadia Septiani Ady; Faiza Batrisya Nisrina; Fidyah Ramadhani; Ferry Irawan
  • Reviewer : Dinda Alifia Audri (222111081)
  • Hari dan Tanggal Reviewer : Sabtu, 14 Desember 2024
  • Tujuan Penelitian :
    Tujuan penelitian ini adalah untuk menelaah: (1) bagaimana tinjauan yuridis perlindungan hukum bagi  konsumen  dalam  transaksi e-commerce?;  (2)  bagaimana  urgensi  KUHD  dalam  mengatasi risiko cybercrimeyang  muncul  dalam  transaksi e-commerce?;  dan  (3)  bagaimana  penyelesaian sengketa  antara  konsumen  dengan  pelaku  usaha  dalam  transaksi  dagang  melalui  transaksi e-commerce?.
  • Latar Belakang :
    Perkembangan teknologi dan informasi telah membawa reformasi dalam sistem perdagangan di Indonesia, ditandai dengan munculnya e-commerce yang mempermudah transaksi jual-beli secara praktis, ekonomis, dan cepat. E-commerce sebagai aktivitas komersial daring memungkinkan konsumen dan penjual bertransaksi tanpa perlu bertemu langsung, menjadikannya solusi efektif di era globalisasi. Namun, meskipun menawarkan banyak kemudahan, e-commerce juga memiliki risiko besar, termasuk serangan cybercrime yang dapat menyebabkan kebocoran data pengguna dan penyalahgunaan data untuk tindakan kriminal.
    Salah satu kasus signifikan adalah kebocoran data 91 juta akun Tokopedia pada tahun 2020, yang menunjukkan perlunya perlindungan hukum lebih kuat bagi konsumen. Saat ini, regulasi terkait e-commerce di Indonesia masih terbatas, terutama dalam KUHD, yang belum secara khusus mengatur perlindungan terhadap risiko cybercrime. Hal ini menunjukkan pentingnya peran pemerintah dalam menyediakan landasan hukum yang jelas untuk melindungi konsumen dan pelaku usaha, serta menciptakan keamanan dan kepastian hukum dalam transaksi elektronik.
  • Metodologi Penelitian :
    Penelitianmenggunakan  pendekatan  yuridis-normatif,  yaitu  jenis  pendekatan  dengan menggunakan  ketentuan  perundang-undangan  yang  berlaku  pada  suatu  negara  atau  metode pendekatan hukum doktrinal yaitu teori-teori hukum dan pendapat para ilmuwan hukum terutama yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Pendekatan yuridis-normatif meneliti bahan-bahan kepustakaan atau data sekunder.
  • Hasil Pembahasan:
    Hasil penelitian yang terdapat dalam jurnal ini adalah:
    A. Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam Transaksi E-commerce
    Internet telah menciptakan paradigma baru dalam perdagangan dengan memberikan kemudahan transaksi melalui e-commerce. Konsep transaksi elektronik ini tetap memiliki hubungan hukum yang sesuai dengan KUHPerdata. Di Indonesia, meningkatnya pengguna internet memicu berkembangnya transaksi jual-beli daring, namun juga menimbulkan dampak negatif seperti posisi tawar konsumen yang lemah dan risiko kebocoran data oleh peretas.
    Kasus pengaduan terkait e-commerce ke YLKI meningkat signifikan, menunjukkan perlunya perlindungan hukum yang lebih kuat. Perlindungan hukum ini dapat bersifat preventif untuk mencegah pelanggaran atau represif sebagai sanksi jika pelanggaran terjadi. Prinsip-prinsip perlindungan konsumen diatur dalam peraturan perundang-undangan, termasuk asas manfaat, keadilan, dan keselamatan.
    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan Pasal 28 UU ITE memberikan landasan hukum untuk melindungi konsumen dalam transaksi elektronik. Perlindungan preventif bertujuan mencegah sengketa, sedangkan perlindungan represif menangani sengketa yang telah terjadi. Penyelesaian sengketa e-commerce dilakukan berdasarkan hukum perdata, baik melalui litigasi di pengadilan maupun mekanisme non-litigasi seperti mediasi atau arbitrase.
    B. Urgensi KUHD dalam Mengatasi Risiko Cybercrime yang Muncul dalam Transaksi E-Commerce
    KUHD  (Kitab  Undang-undang  Hukum  Dagang)  adalah  kitab  hukum  yang  mengatur masalah yang timbul karena tingkah laku manusia dalam perdagangan/perniagaan. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang lahir bersama KUHPerdata pada tahun 1847 belum diperbarui untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman, terutama dalam transaksi elektronik seperti e-commerce. Regulasi terkait e-commerce di Indonesia lebih banyak diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menjadi dasar cyber law pertama di Indonesia sejak disahkan pada tahun 2008.
    Kemajuan teknologi telah mendorong banyak perusahaan beralih dari metode konvensional ke metode elektronik, memungkinkan transaksi yang lebih mudah dan efisien. Namun, e-commerce juga membawa berbagai tantangan, termasuk risiko cybercrime seperti penipuan transaksi, pengiriman barang yang tidak sesuai, dan kebocoran data. Faktor keamanan konsumen menjadi kendala utama dalam mengadopsi e-commerce secara luas.
    UU ITE memberikan perlindungan hukum dengan menjamin kepastian transaksi elektronik, seperti pengakuan dokumen dan tanda tangan elektronik, serta menetapkan klasifikasi dan sanksi atas pelanggaran terkait teknologi informasi. Sementara itu, pasal 246 KUHD yang mengatur tentang asuransi dan pertanggungjawaban mencakup konsep ganti rugi, tetapi tidak cukup untuk menangani kompleksitas risiko dalam e-commerce. Hal ini menunjukkan perlunya pembaruan KUHD untuk mengakomodasi perkembangan teknologi dan transaksi digital.
    C. Penyelesaian Sengketa antara Konsumen dengan Pelaku Usaha dalam Transaksi Dagang Melalui Transaksi E-Commerce
    Perlindungan konsumen di Indonesia diatur melalui berbagai regulasi seperti Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun, UUPK belum secara eksplisit mengatur transaksi elektronik, sehingga perlindungan konsumen dalam e-commerce masih menghadapi banyak tantangan. Kasus-kasus sengketa sering kali sulit diselesaikan, terutama ketika konsumen menghadapi keterbatasan, seperti ketiadaan pengacara atau ahli waris yang tidak dianggap sebagai konsumen akhir.
    Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) menjadi institusi penting dalam menyelesaikan sengketa konsumen. Proses di BPSK melibatkan mediasi, konsiliasi, atau arbitrase, dan memberikan kesempatan kepada konsumen untuk memperjuangkan haknya. Meski demikian, sebagian besar putusan BPSK sering dibatalkan di pengadilan, menunjukkan perlunya penguatan posisi dan kewenangan BPSK.
    Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 mewajibkan rekam jejak elektronik untuk mendukung penyelesaian sengketa dan penegakan hukum, sedangkan Permendag No. 35/M-Dag/Per/7/2013 menetapkan aturan seperti pemberlakuan harga terendah jika terjadi selisih harga pada transaksi online. Literasi konsumen juga menjadi faktor penting untuk memastikan pemahaman tentang hak-hak dan kewajiban mereka selama pra-transaksi, proses transaksi, dan pasca-transaksi.
    Penyelesaian sengketa juga melibatkan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) sebagai langkah terakhir jika kasus tidak masuk ke pengadilan. Namun, BPSK dan BPKN harus meningkatkan kapasitas untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih efektif, terutama dalam konteks transaksi elektronik yang semakin kompleks. Regulasi tambahan diperlukan untuk menutup celah hukum dalam perlindungan konsumen di era digital.
  • Kesimpulan :
    Kegiatan   bertransaksi   kini   lebih   mudah   karena   lahirnya   internet   dalam   wahana perdagangan yang dapat memberikan kemudahan kepada konsumen dan pelaku usaha. Meskipun menawarkan  banyak  kemudahan,  tentu  tetap  ada  kemungkinan  kejahatan,  contohnya  kejahatan siber. Maka dari itu, dibutuhkan perlindungan hukum, misalnya melalui kompensasi dan bantuan hukum.  Tujuannya  agar  masyarakat  merasakan  keadilan  dan  kepastian.  Salah  satu  perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerceterdapat dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan dan mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik."
    E-commerce hadir   di   Indonesia   merupakan   suatu   yang   mudah   ditebak,   globalisasi membawa  arus  yang  cepat.Perdagangan  cara  ini  digunakan  masyarakat  negara  maju  seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris, kemudian merambat ke seluruh dunia.Hal ini berkembang pesat di Indonesia sejak munculnya e-commercekarya anak negeri seperti Tokopedia, Bukalapak, Blibli, dan  lain-lain.E-commerce hadir  di  Indonesia  pada  tahun  2010-201,  lebih  dari  10  tahun,  tetapi belum tertera pada KUHD hingga saat ini.
    KUHD tidak memiliki peraturan mengenai e-commerce secara umum, maupun cybercrime yang terjadi pada pelaku usaha maupun pembeli e-commerce. hal ini cukup disayangkan mengingat pada era saat ini, perdagangan secara konvensional semakin tergerus zaman, masyarakat dari segala usia beralih menggunakan perdagangan online karena dianggap lebih mudah dan efisien. Peraturan mengenai sengketa antara konsumen dan pelaku usaha tertuang dalam pasal 1 UU Perlindungan Konsumen serta BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) turut ambil andil dalam penyelesaian sengketa yang jika memenuhi syarat akan diusut ke pengadilan.
  • Kelebihan Jurnal :
    1. Metode penelitian yang digunakan tepat untuk analisis hukum, dengan berfokus pada kajian dokumen, peraturan, dan teori hukum. Hal ini memberikan dasar kuat untuk argumen jurnal, khususnya dalam mengevaluasi relevansi KUHD dan undang-undang lain terkait e-commerce.
    2. Jurnal mencakup pembahasan mendalam tentang UU Perlindungan Konsumen, UU ITE, dan KUHD, memberikan wawasan tentang kerangka hukum yang ada dan kekurangannya dalam melindungi konsumen dari risiko cybercrime.
    3. Jurnal mampu menghubungkan isu lokal dengan perkembangan global, seperti prediksi nilai pasar e-commerce Indonesia dan contoh regulasi serupa di negara maju. Hal ini memberikan perspektif yang lebih luas tentang pentingnya regulasi yang adaptif.
  • Kekurangan Jurnal :
    1. Di era digital, regulasi perlindungan data pribadi menjadi salah satu isu utama. Sayangnya, jurnal ini tidak memberikan pembahasan tentang Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), yang sebenarnya relevan untuk melindungi konsumen e-commerce dari ancaman cybercrime.
    2. Fokus jurnal hampir seluruhnya pada konsumen, sementara tantangan dan kebutuhan pelaku usaha dalam memenuhi regulasi, mencegah kejahatan siber, atau menghadapi sengketa tidak dibahas. Hal ini membuat analisis menjadi kurang seimbang.
    3. Masih terdapat beberapa pengulangan pembahasan yang sama dalam beberapa sub bab yang bisa membuat pembaca kebinggungan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline