Nama: Dinda Febrianti
Kelas: XII-Keperawatan
Tugas Bahasa Indonesia "Teks Sejarah"
ABSTRAK
Kota Semarang merupakan kota yang memiliki banyak sekali tradisi yang dipengaruhi oleh banyaknya etnik yang tinggal di Kota Semarang. Salah satu contohnya adalah Dugderan. Dugderan merupakan salah satu tradisi yang sudah melekat di masyarakat kota Semarang. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Semarang selaku penyelenggara dari Dugderan merasa bahwa acara ini dapat menjadi salah satu atraksi wisata yang ada di Kota Semarang. Tradisi Dugderan adalah tradisi yang dilaksanakan setiap tahunnya sebagai pertanda datangnya bulan suci ramadhan yang diawali dengan pawai budaya. Pawai Dugderan juga dimaksud agar masyarakat bertemu dan berkumpul dalam suasana suka cita tanpa perbedaan.
Kata kunci: tradisi, nilai, religious, dugderan, event tradisional
PENDAHULUAN
Dugderan merupakan tradisi di Kota Semarang yang ditujukan dalam rangka menandai awal ibadah puasa di bulan Ramadhan. Tradisi tersebut disambut dengan suasana meriah penuh petasan dan kembang api. Dugderan pertama kali digelar sekitar tahun 1862-1881 oleh Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat. Dugderan digagas sebagai kegiatan untuk menentukan pertanda awal waktu puasa. Hal tersebut disebabkan umat Islam di Semarang pada masa itu belum memiliki keseragaman dalam menentukan awal waktu puasa.Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat kemudian memilih suatu pesta dalam bentuk tradisi guna menengahi terjadinya perbedaan dalam menentukan jatuhnya awal puasa.
Nama "Dugderan" sendiri merupakan onomatope dari suara pukulan bedug dan dentuman meriam, sebagai tanda dimulainya bulan Ramadhan. Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat menghelat upacara dengan membunyikan suara bedug (dengan bunyi dug) sebagai puncak "awal bulan puasa"sebanyak 17 (tujuh belas) kali dan diikuti dengan suara dentuman meriam (dengan bunyi der) sebanyak 7 kali. Perpaduan bunyi bedug dan meriam tersebut yang kemudian membuat tradisi tersebut diberi nama "Dugderan".
Pesta rakyat Dugderan juga dihelat dengan menampilkan maskot yang dikenal dengan?Warak Ngendog?. Warak Ngendog berbentuk seperti piata (boneka kambing dengan hiasan kertas dari Meksiko) namun dengan bentuk yang lebih besar. Warak sendiri merupakan representasi kambing berkepala naga dibuat dari kertas warna-warni. Warak juga disisipi beberapa telur rebus yang melambangkan seolah-olah warak sedang bertelur (ngendog).Perayaan dugderan tidak hanya diisi dengan penampilan warak ngendog saja, tetapi juga terdapat pasar malam yang menjual aneka barang terutama kebutuhan rumah tangga. Pasar ini hamper mirip dengan pasar yang ada dalam perayaan sekaten di Yogyakarta. Dugderan dimaksudkan selain sebagai sarana hiburan juga sebagai sarana dakwah Islam.
Pemukulan bedug dalam perayaan dugderan menjadi consensus sebagai justifikasi ketetapan jatuhnya tanggal 1 bulan Ramadhan, sehingga menengahi perbedaan antar umat Islam. Dugderan juga sebagai afirmasi untuk mengokohkan keimanan, bersyukur bisa menyambut datangnya bilan ramadhan dengan suka cita, namun tetap sederhana. Selain itu, tradisi dugderan sebagai edukasi bagi anak-anak untuk melaksanakan ibadah puasa. Bentuk edukasi lainnya yang terdapat dalam perayaan tersebut dilambangkan dengan warak ngendok yang bermakna seseorang haruslah suci, bersih dan memantapkan ketaqwaan kepada Allah dalam menjalankan puasa.
BAGIAN INTI
Dugderan adalah tradisi perayaan menyambut bulan Ramadhan yang dilakukan oleh umat Islam di Semarang, Jawa Tengah. Tradisi ini juga menjadi pesta rakyat tahunan bagi masyarakat Semarang. Digelarnya tradisi Dugderan awalnya sebagai upaya pemerintah untuk menyamakan awal puasa dan hari raya. Hingga saat ini, tradisi Dugderan masih diselenggarakan setiap tahunnya. Tradisi ini dikatakan sebagai salah satu cara masyarakat untuk mencurahkan rasa rindunya terhadap bulan Ramadhan.
Sejarah tradisi Dugderan untuk menyambut Bulan Ramadhan Mengutip dari buku Sejarah Islam Nusantara karya Rizem Aizid, kata 'dugder' dan bunyi meriaam yang mengikutinya, yaitu 'der'. Karena itulah upacara penyambutan bulan suci Ramadhan tersebut disebut dengan nama Dugderan atau Dhug Der.
Tradisi Dugderan sudah dilaksanakan sejak tahun 1881 M. Berdasarkan ceritanya, di zaman dahulu umat Islam selalu memiliki perbedaan pendapat terkait penentuan hari dimulainya puasa Ramadhan.