Lihat ke Halaman Asli

Membangun Kesadaran: Peran BK Edukasi Tentang Seksualitas

Diperbarui: 16 Desember 2024   12:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam sebuah kasus di salah satu sekolah menengah atas di Pare Kediri, kegiatan hubungan seksual mulai dinormalisasi oleh para siswa, tidak sedikit dari mereka bahkan seringkali berganti-ganti pasangan seks. Hal ini mencerminkan minimnya kesadaran akan moral dan ImTak (Ilmu pengetahuan dan Takwa). Tanpa pemahaman yang tepat, remaja dapat terjebak dalam informasi yang salah, yang dapat berdampak negatif pada kesehatan dan kesejahteraan mereka. Edukasi tentang seksualitas tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan, tetapi juga membantu remaja dalam memahami tubuh mereka, hubungan, dan tanggung jawab kepada diri mereka sendiri.

Dalam konteks ini, Bimbimgan dan Konseling (BK) memiliki peran krusial sebagai sumber informasi yang akurat dan mendidik. Bimbingan dan Konseling (BK) adalah sumber informasi yang bertugas untuk menyediakan data yang aktual, untuk mengatasi mitos yang sering kali menyesatkan. Fungsi Bimbingan dan Konseling (BK) adalah sebagai ruang aman bagi remaja untuk berdiskusi dan mengungkapkan pendapat mereka tanpa merasa tertekan dan malu. Lingkungan yang mendukung ini berpengaruh pada mental remaja ketika membahas topik topik sensitif seputar seksualitas. Konselor dapat menjalankan metode konseling individu dan kelompok, serta menyelenggarakan kegiatan seperti workshop dan diskusi untuk meningkatkan pemahaman mereka.

Dalam melaksanakan edukasi seksualitas, strategi yang efektif sangat diperlukan, terutama pada penggunaan media dan teknologi sebagai alat ampuh untuk menjangkau remaja dengan materi yang menarik dan mudah dipahami. Selain itu, kelibatan orang tua dan komunitas dapat berperan penting dalam proses edukasi. Dukungan orang tua dapat membantu menyampaikan pesan dari konselor, sementara keterlibatan komunitas dapat memberikan respektif yang lebih mendalam dan luas dalam mendukung progam progam yang ada.

Namun, tantangan tetap ada, seperti kurangnya pengetahuan di kalangan konselor atau stigma sosial masyarakat yang menghambat diskusi terbuka. Hal ini, sering kali membuat remaja enggan untuk bertanya atau pun berdiskusi. Selain itu, kurangnya pelatihan dan pemahaman yang memadai di kalangan konselor itu sendiri dalam memberikan informasi yang akurat dan relevan. Keterbatasan sumber daya, baik dari segi materi edukatif maupun dukungan dari pihak sekolah dan orang tua yang menjadi hambatan signifikan. Di samping itu, pergeseran nilai dan norma di tengah masyarakat yang semakin kompleks dapat membuat pesan edukatif tentang seksualitas sulit diterima.

Untuk mengatasi tantangan ini, Bimbingan dan Konseling (BK) dapat mengambil langkah strategis. Langkah pertama, penting bagi konselor untuk meningkatkan kualifikasi diri melalui pelatihan dan workshop yang fokus pada isu isu seksualitas, agar mereka dapat memberikan informasi yang akurat dan relevan. Langkah kedua, konselor duharapkan menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung untuk diskusi terbuka di dalam kelas atau konseling kelompok yang dapat membantu mengurangi stigma sosial dan mendorong remaja untuk berbagi kekhawatiran mereka. Langkah terakhir, dan yang terpenting adalah kelibatan orang tua dan komunitas dalam proses edukasi dalam isu seksualitas. Penggunaan media dan teknologi juga dapat dimanfaatkan dalam penyebaran informasi, seperti melalui platform digital Instagram dan Tiktok yang menarik bagi remaja.

Dengan adanya tantangan, maka perlu juga adanya tindakan bagi konselor dalam mengatasi masalah tersenut. Hampir semua siswa sering kali merasa malu atau takut dalam mengungkapkan masalah yang sedang mereka hadapi khususnya topik seks bebas, harus bagi konselor membuat siswa merasa aman dan nyaman dengan bersikap ramah, terbuka dan merangkul agar mereka dapat mengungkapkan masalahnya tanpa merasa dihakimi.

Konselor dapat memberi edukasi mengenai dampak kesehatan terhadap reproduksi dan hubungan yang sehat. Edukasi tersebut mencakup biologis, dampak emosional dan sosial, dan hukum dari perilaku seksual. Karena lengkapnya pengetahuan mengenai seksualitas, siswa dapat lebih memahami risiko dan tanggung jawab mengenai perkara tersebut, sehingga mampu membuat keputusan yang lebih bijak. Mengajarkan sifat asertif kepada siswa juga tidak kalah penting bagi konselor, dengan pengetahuan sifat asertif, siswa dapat menolak tekanan dari luar dan mempertahankan hak hak mereka.

Edukasi tentang seksualitas merupakan elemen penting dalam membangun kesadaran remaja mengenai kesehatan dan tanggung jawab dalam hubungan interpersonal. Dalam konteks yang semakin kompleks, di mana perilaku seksual di kalangan remaja mulai dinormalisasi, peran Bimbingan dan Konseling (BK) menjadi sangat krusial. BK bertugas menyediakan informasi yang akurat dan mendidik, serta menciptakan lingkungan aman bagi remaja untuk berdiskusi tanpa rasa takut atau malu.

Pentingnya edukasi seksualitas tidak hanya terletak pada penyampaian informasi biologis, tetapi juga pada pemahaman emosional dan sosial yang menyertai perilaku seksual. Konselor berperan sebagai fasilitator, yang tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga mendukung remaja dalam memahami tanggung jawab mereka terhadap diri sendiri dan orang lain. Strategi yang efektif dalam penyampaian edukasi, termasuk penggunaan media dan teknologi yang menarik, dapat menjangkau remaja dengan cara yang lebih relevan.

Namun, tantangan seperti stigma sosial, kurangnya pengetahuan di kalangan konselor, dan keterbatasan sumber daya tetap menjadi hambatan. Untuk mengatasi hal ini, konselor perlu meningkatkan kualifikasi melalui pelatihan yang fokus pada isu seksualitas, menciptakan ruang diskusi yang mendukung, serta melibatkan orang tua dan komunitas dalam proses edukasi.

Dengan mendidik remaja tentang dampak kesehatan, hubungan yang sehat, dan sifat asertif, mereka dapat membuat keputusan yang lebih bijak dan bertanggung jawab. Melalui pendekatan yang komprehensif dan inklusif, diharapkan remaja mampu menghadapi tantangan terkait seksualitas dengan lebih baik, sehingga dapat berkontribusi pada masyarakat yang lebih sehat dan berpengetahuan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline