Lihat ke Halaman Asli

Perjalanan Malamku

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ku putuskan untuk memulai dengan melihat jam digital di HaPeku, menunjukkan pukul 01.33 WIB, waktu yang cukup larut ketika aku masih terjaga. Ternyata tidur sore (sebuah perilaku santri yang tidak patut untuk diitiru) telah menghilangkan kantukku.

Teringat ketika sebuah buku saku warna merah berisi cara menuntut ilmu dalam islam telah mengisi maghribku, buku saku yang nyasar di loker bukuku. Setelah kutawarkan pada panghuni kamar ternyata itu adalah sebuah buku lemparan yang entah siapa pemiliknya, hingga kuputuskan untuk membacanya, sungguh kegiatan yang cukup lama tidak kulakukan. Ingatanku terusik kembali setelah beberapa kalimat ku baca dari buku saku tersebut, bahwa waktu mahgrib adalah waktu yang sangat baik untuk mengulang pelajaran ataupun hafalan. Namun yang kulakukan adalah membaca buku diselingi dengan gurauan teman – teman sekamarku serta cemilan yang beberapa waktu sempat aku tinggalkan. Beberapa detik setelah adhan isya ternyata aku sudah oversleep (ketiduran), hingga madrasahku tertinggal, tidak enak hati sebenarnya mengingat ustadzah adalah teman sekamarku.

Kucari HaPe disekitarku sekedar untuk melihat pukul berapa saat itu, ternyata 2 jam aku tertidur, buku saku merah ditangankupun sudah raib entah kemana, padahal masih ada sekitar 3 lembar belum selesai kubaca. Beberapa kata berputar di otakku mengenai isi dari buku saku itu lagi, bahwa waktu malam adalah waktu yang tepat untuk membaca buku pelajaran ataupun melihat acara televisi yang bermanfaat. Belum sempat aku memutuskan untuk melakukan apa, terdengar bu Lurah (sebutan untuk santri yang menjadi ketua pesantren) mengingatkan untuk ke aula Dalem. Bergegas aku ke kamar mandi sekedar untuk cuci muka, dan menuju aula Dalem bersama “cah cilik”. Karena sudah cukup telat aku duduk di depan berhadapan dengan meja rendah untuk menulis, masih dengan “cah cilik”. Satu pelajaran yang sering kudengar dari abah, sayang baru kusadari itu sangat bermakana “jangan seperti lilin yang hanya menerangi sekitarmu tetapi membiarkan dirimu terbakar”. Sederhana memang, tetapi dapat diterapkan dalam keadaan apapun, dan dapat dijadikan sebagai alarm dalam melakukan sesuatu, ketika kita sudah terlena.

2 jam setengah terlewati, aku kembali ke kamar, beberapa santri terdengar akan ikut mujahadah bersama abah. Kelihatannya aku ketinggalan info hingga aku tidak tahu dimana mujahadahnya, parahnya aku tidak ikut, iseng – iseng ku serukan dalam hatiku “nitip doanya”. hehe. . .

Di kamar kuletakkan kembali buku catatanku di loker. Aku merasa tiba – tiba ada guncangan di perutku, bukan karena pecahnya batuan ataupun letusan gunung berapi, tapi karena kelaparan mode = ON. Rupanya ada keberuntungan, ”teman seangkatan” membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa roti, 4 teman sekamar ternyata bernasib sama denganku. Alhamdulillah . . . lumayan mengurangi rasa lapar. Buku bersampul merah, buku yang baru 5 lembar kubuka dan berisi gambar mantan presiden Indonesia waktu itu. Sempat beniat ingin membacanya, hanya sekedar menunggu kantuk mengingat waktu sudah larut. Tetapi ternyata aku mendapat tawaran buku bagus (katanya) dari “teman seangkatan”. Ku baca beberapa pangantarnya memang lumayan menarik, terdapat pengetahuan rahasia yang berbunyi “ berpikir positif, maka kita akan mendapatkan sesuatu yang juga positif”. Kuputuskan untuk membacanya lain waktu saja, karena yang kulakukan ternyata hanya mondar – mandir, hingga akhirnya ku buka laptop untuk kembali menunggu kantuk. . . . . . . . .




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline