Lihat ke Halaman Asli

Gaga dan Logika Gagap

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

©Dina Y. Sulaeman

Syukurlah, akhirnya Lady Gaga tidak jadi konser di Indonesia setelah manajemen Gaga sendiri yang membatalkan konser tersebut. Bisa jadi, ada beberapa pihak yang menghembuskan nafas lega karena tidak perlu memutuskan apa-apa. Apalagi, Dubes AS sampai turun tangan menemui DPR dan Polri, mendorong agar izin konser diberikan. Sudah bisa dibayangkan, bagaimana sulitnya posisi para pengambil keputusan itu. Diizinkan, banyak yang akan marah. Tidak diizinkan, Bos Besar sudah turun tangan.

Namun tidak berarti masyarakat Indonesia yang peduli pada keselamatan anak-anak dan keluarga bisa bernafas lega. PR besar masih menanti karena sejatinya, bukan keseronokan Lady Gaga saja yang menjadi sumber keprihatinan kita semua, melainkan skenario besar di balik ini semua. Pornografi dan homoseksualitas yang dipropagandakan, bukanlah letupan ekspresi seni orang per orang, namun sudah menjadi sebuah jejaring serangan budaya terhadap bangsa kita, apapun agamanya. Tetapi betapa banyak dari kita yang abai dan tertipu oleh logika-logika yang salah kaprah.

Saya mencatat beberapa logika yang dikemukakan orang-orang di internet seputar kontroversi Gaga. Memang Gaga tidak jadi datang. Tapi, kesalahan logika ini bisa dipastikan akan kembali terulang untuk kasus-kasus lainnya. Karena itu, saya merasa perlu menulis kritik terhadap logika gagap ini. Mudah-mudahan ada manfaatnya.

Di antara logika gagap yang disampaikan terkait Gaga:
1. Mengapa sih polisi dan ulama heboh mengurusi Lady Gaga? Urusin hal lain sajalah! Masih banyak hal lain yang lebih penting diurusi!
2. Dangdut koplo merajalela, yang nonton lebih banyak daripada yang mampu datang ke konser Lady Gaga. Mengapa polisi dan ormas-ormas tidak mengurusi itu semua dan cuma meributkan Gaga? Toh yang nonton Gaga cuma sedikit!
3. Gara-gara protes keras ormas-ormas radikal, Gaga malah semakin ngetop. Orang-orang yang tadinya tidak kenal Gaga akhirnya jadi tahu dan malah semakin banyak yang mengakses you tube-nya. Ini justru jadi promosi gratis buat Gaga. Sebaiknya gunakan cara-cara ilmiah, damai, dan simpatik!

Sebelum saya menjawab argumen di atas, saya mau membawakan analogi dulu. Begini, polisi menangkap si A yang korupsi 1 M. Si A marah dan berkata, “Pak Polisi! Saya ini cuma korupsi 1 M, kenapa ditangkap?! Itu si B, si C, si D, korupsinya jauh lebih besar daripada saya! Lepaskan saya, tangkap dulu mereka itu, baru Anda berhak menangkap saya!”

Menurut Anda, logiskah pembelaan yang dilakukan si A? Tidak kan?

Bila Anda mengakui bahwa Gaga memang membawa misi-misi amoral (pornografi, anti-Tuhan, pro-homoseksualitas), Anda tentu setuju bila polisi dan ulama memang harus menghalangi konser Gaga di Indonesia. Perkara mengapa polisi dan ulama tidak mengurusi dangdut koplo, itu masalah lain. Seharusnya polisi dan ulama juga mengurusi dangdut koplo. Lalu mengapa mereka diam saja atas dangdut koplo? Ya tanya saja sama para polisi dan ulama itu. Tapi, yang jelas kita tidak bisa menggunakan logika ‘Anda tidak berhak menangkap si A yang korupsi 1 M karena Anda belum menangkap si B yang korupsi 2 M”.

Masalahnya berbeda jika secara esensi, Anda memang tidak mengakui amoralitas Gaga dan tidak peduli, “mau dia siapa, mau lagunya tentang apa, mau bajunya bagaimana, ya urusan dialah!” Nah, kalau Anda permisif begitu, case closed. Kita tidak akan sampai pada kesepakatan karena titik tolaknya sudah beda: saya menolak amoralitas, Anda permisif. Tapi kalau Anda permisif, Anda ‘kalah’ dengan seorang anak SMP. Anak ini, anak seorang teman saya, berkata menanggapi Gaga, “Mereka itu kan cuma suka lagu dan penampilannya, Bu. Mereka tidak tahu siapa Gaga dan apa isi lagunya.”

Bayangkan, anak SMP saja sudah memahami bahwa ada masalah besar di balik ‘sekedar konser musik biasa’.

Yang jelas, banyak pihak yang sepakat bahwa seni yang diusung oleh Gaga ataupun dangdut koplo sama-sama merusak. Ini sebenarnya aksiomatis. KPAI, komunitas parenting, psikolog, kaum agamawan, bahkan para pecinta budaya tradisional, sangat geram dengan segala macam tampilan seni yang berbau pornografis/pornoaksi. Ini karena dampaknya sudah sangat jelas dirasakan. Indonesia adalah pangakses situs porno terbanyak ke-2 di dunia. Survey KPA menemukan data bahwa 62,7% siswi SMP/SMA sudah tidak lagi perawan. Perkosaan terjadi di mana-mana. Ini semua masalah besar yang mengancam bangsa ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline