Perubahan: hal yang selalu melekat dalam diri seseorang
Berbicara mengenai perubahan, setiap manusia tentu mengalaminya. Perubahan sosial selalu mengacu kepada perubahan yang signifikan dari waktu ke waktu, baik perubahan dalam pola perilaku, pikiran, hubungan sosial, maupun nilai budaya seseorang. Dalam hal ini, sebuah "perubahan" menunjukkan kepada kita bahwa terdapat suatu perbedaan dalam segala hal yang dapat diamati selama beberapa periode waktu.
Menurut Goa (2017), perubahan sosial adalah perubahan dalam hubungan interaksi antarindividu, organisasi, atau komunitas yang berkaitan dengan struktur sosial atau pola nilai dan norma. Dengan demikian, perubahan yang dimaksud adalah perubahan "sosial-budaya", karena memang manusia adalah makhluk sosial yang tidak terlepas dari suatu kebudayaan tertentu.
Berdasarkan hal tersebut, perubahan sosial secara umum diartikan sebagai suatu proses dimana terjadi suatu pergeseran atau berubahnya struktur di dalam masyarakat, meliputi pola pikir, sikap, serta kehidupan sosial yang dijalani untuk kemudian dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik. Hal ini memperlihatkan kepada kita bahwa konsep perubahan sosial menjadi sesuatu yang menarik untuk dibahas.
Pada kesempatan ini, kita dapat melihat perubahan sosial yang dialami oleh seseorang yang sangat menginspiratif, terkait perjuangannya melawan gaya hidup konsumerisme. Sebelum membahas lebih lanjut, kita perlu mengetahui bahwa selain disebut sebagai makhluk sosial, manusia juga disebut sebagai homo economicus atau makhluk ekonomi.
Ini memperlihatkan kepada kita bahwa selain menginginkan keuntungan yang sebesar-besarnya, manusia sebagai makhluk ekonomi juga tidak ada puasya atas keinginan serta sederet kemauan yang lain. Oleh Karena itu, dengan menerapkan gaya hidup minimalis ala Falsafah Zen, maka minim barang juga akan meminimalisir tekanan pada diri seseorang.
Kehidupan praktis seorang warga negara Jepang dapat menjadi insprirasi bagi kita semua. Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Kirana (2017), seseorang bernama Fumio Sasaki hanya memiliki empat pasang celana, tiga baju, dan empat pasang kaus kaki di dalam lemarinya.
Tidak hanya itu, barang-barang rumah yang dia memiliki hanya sebanyak 150 buah. Seorang yang bekerja sebagai penulis ini, mengatakan bahwa dirinya tidak berniat untuk membeli banyak barang, sebab baginya apa yang dia miliki sudah bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Mengapa demikian? Sasaki menceritakan bahwa sebelumnya dia pernah sangat terobsesi terhadap barang. Dirinya selalu membeli banyak hal yang sebenarnya tidak terlalu penting bagi kebutuhannya, sebab dirinya terus membanding-bandingkan apa yang dirinya miliki dengan apa yang dimiliki oleh orang lain. Akhirnya, hal itu membuat Sasaki menjadi stress dan tidak dapat fokus dalam menjalankan aktivitasnya lantaran apartement yang dia tempati selalu berantakan.
Sadar akan hal tersebut, gaya hidup yang dirinya jalani saat itu sudah menunjukan gaya hidup yang tidak sehat, baik secara fisik maupun psikis. Seiring berjalannya waktu, Sasaki pun mencoba untuk melakukan perubahan dengan mengikuti gaya hidup minimalis ala Falsafah Zen.
Setelah dirinya membuang banyak barang yang tidak terlalu diperlukan, hidup Sasaki pun menjadi lebih bahagia. Tidak hanya itu, dirinya pun bisa menilai orang lain dengan lebih bijak, tidak hanya berdasarkan dari materi yang mereka miliki.