(keterangan: tulisan ini saya ikutkan pada lomba esai tentang UU Kesehatan, tapi tidak menang, sehingga tentu hak publishing kembali ke saya)
Menyimak berita dan opini mengenai Undang-Undang Kesehatan No 17 Tahun 2023 (UU Kesehatan) di media massa seperti menonton pertandingan antara dua gladiator raksasa. Kami adalah segerombolan penonton di pinggir lapangan. Sekelompok massa yang bersatu dalam iuran BPJS, pertanyaan kami hanya seputar: apakah nanti BPJS masih berlaku? Pengobatan apa saja yang dikover BPJS? Iuran BPJS naik atau tidak?
Semoga tidak ada kata kalah dan menang dalam pertandingan ini, melainkan kedua gladiator itu bergandengan tangan dan berdamai. Lalu kami para penonton pulang dengan hati yang tenang bahwa ada jaminan pengobatan jika kami sakit, akan menjadi lebih baik dari sekarang.
Sekilas mengenai UU Kesehatan ini: dinyatakan berlaku pada tanggal 8 Agustus 2023 kemudian memicu aksi demonstrasi dan pernyataan sikap menolak undang-undang ini. Bagian kelompok masyarakat yang tidak bersetuju dengan UU Kesehatan ini semisal Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang menyatakan undang-undang ini cacat formil karena tidak melibatkan partisipasi bermakna (meaningful participation) dari masyarakat, pembuatan undang-undang ini dianggap terburu-buru dan berbagai kekhawatiran yang pada akhirnya IDI dan organisasi profesi terkait tenaga medis dan tenaga kesehatan mengajukan uji materi UU Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi dengan alasan cacat formil. Sidang pertama MK membahas masalah ini sudah digelar pada hari Kamis, 7 Oktober 2023.
Opini-opini dari beberapa dokter yang saya baca di media massa mengupas kemubaziran (redundancy) UU Kesehatan ini karena undang-undang sebelumnya terkait bidang kesehatan masih baik-baik saja dan dapat dilaksanakan sehingga kalaupun perlu perbaikan, menurut opini tersebut, lebih baik membuat peraturan tambahan yang mengatur masalah yang dianggap belum terkover di undang-undang sebelumnya daripada membuat undang-undang baru dan mencabut undang-undang sebelumnya.
Dari Pemerintah sendiri sebagai pembuat undang-undang, melalui Menteri Kesehatan dan DPR, menyatakan bahwa undang-undang ini diperlukan untuk mereformasi sistem kesehatan di Indonesia. Sudah saatnya terjadi transformasi enam pilar sistem kesehatan di Indonesia. Enam pilar kesehatan tersebut yaitu: layanan primer, layanan rujukan, sistem ketahanan kesehatan, sistem pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia (SDM) kesehatan, dan teknologi kesehatan.
Dari tulisan Menkes, UU Kesehatan ini merupakan upaya untuk menjadi negara industri berpendapatan tinggi yang makmur pada tahun 2045 (Indonesia Emas) adalah dengan mengatasi bidang penting dimana investor internasional dapat memainkan peran pendukungnya: membangun ketahanan kesehatan untuk semua. Hal ini cukup menggelitik karena kata investor identik dengan kapitalisasi kesehatan.
Dalam tulisan tersebut, Menkes menyatakan bahwa Undang-undang baru ini akan memungkinkan sistem kesehatan memberikan insentif dan panduan yang lebih baik untuk mendukung peningkatan akses dan peluang investasi bagi perusahaan kesehatan yang inovatif. Rencana rinci mengenai insentif ini masih dalam tahap persiapan, namun setelah diterapkan, diharapkan akan tersedia lebih banyak obat-obatan berkualitas tinggi dengan harga terjangkau melalui sistem asuransi nasional. Ini akan menjadi peluang yang saling menguntungkan bagi investor dan Indonesia.
Para penulis opini pun berharap pemerintah berhati-hati dalam hal ini dan memprioritaskan investor lokal dalam hal insentif fiskal maupun non fiskal karena bagaimanapun adanya investasi (swasta atau asing) akan mengurangi kedaulatan pemerintah. Tetapi memang Budi juga mengatakan bahwa rincian mengenai investasi bagi perusahaan kesehatan sedang dipersiapkan. Investasi dalam kesehatan seperti pembangunan rumah sakit umum ataupun rumah sakit khusus bertaraf internasional yang memberikan layanan medis bermutu jika dilakukan oleh pengusaha lokal tentunya diharapkan akan mengurangi keinginan masyarakat berobat keluar negeri.
Indonesia sendiri masih sangat kekurangan dokter umum dan dokter spesialis. Dalam tulisannya, Menkes menyatakan saat ini, Indonesia memiliki satu ahli jantung untuk setiap 250.000 penduduk dibandingkan dengan Inggris yang memiliki satu ahli jantung untuk setiap 20.600 penduduk.
UU Kesehatan mencantumkan di Pasal 187, Pasal 209, dan Pasal 233 mengenai Rumah Sakit Pendidikan. Rumah Sakit Pendidikan dapat menyelenggarakan program spesialis/sbuspesialis berdasar izin Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan peserta didik tenaga spesialis/subspesialis dapat diberdayakan. Ini adalah upaya pemerataan pelayanan medik spesialis.