Lihat ke Halaman Asli

Dinar Rahaju Pudjiastuty

menulis fiksi dan non fiksi

Parvati

Diperbarui: 28 Oktober 2023   08:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Syiwa Nataraja adalah mantan suamiku. Namaku Parvati. Sesuai namanya, Syiwa baru saja menari. Dan akibatnya bumi kiamat. Kini aku berada di pegunungan bersama seseorang dari klan Sang Penjaga Republik. Oleh klannya ia diutus untuk menemuiku. Aku memang menunggunya. karena aku bisa menunjukkan jalan menuju tempat dimana kami akan bertemu dengan kelompok yang memiliki obat untuk wabah yang menyapu bersih umat manusia ini. Kami berada di titik A, seratus kilometer dari tempat tujuan kami.

Seperti biasa, seperti para peramal sebelumnya, seperti Kasandra yang meramal kejatuhan Troya yang ramalannya tak didengarkan oleh sesiapapun, demikian juga prediksiku. Barangkali juga karena suara perempuan kurang didengar dihadang tata kelola masyarakat. Entahlah. Dalam beberapa fora, dalam banyak tulisan, aku mengatakan bahwa sebaiknya Badan Pengawas Dunia melakukan intervensi pada proyek Nataraja. Proyek mantan suamiku. Tetapi suaraku terbalut kicauan media yang menganggap aku adalah mantan istri yang sedang mencemarkan nama baik mantan suamiku dengan mengatakan bahwa proyek Nataraja, yaitu proyek yang sedang dikerjakan Syiwa-mantan suamiku, adalah proyek Pemercepat Kiamat.

Syiwa, seperti namanya adalah sang pemelihara, sang perusak, ketika ia menari, kosmos pun ikut menari. Sebagian mati, sebagian hidup, sebagian bereinkarnasi.

Sang penjaga ini tak banyak bicara. Ia menghemat tenaga. Di bawah runtuhan kubah yang di sebagian dindingnya tampak susunan logam berbentuk huruf-huruf bertuliskan "...menyambut...emas...100 tahun..." kami pun berteduh. Minum untuk menghilangkan dahaga. Sang Penjaga memperhatikan kompasnya. Jarum kompas di atas air yang mengikuti kutub magnetik bumi tampak menunjukkan arah yang benar. Kami tidak punya lagi gawai elektronik cerdas yang bisa menunjukkan arah. Komunikasi melalui sinyal tak kasat mata sudah lumpuh bertahun-tahun yang lalu karena tarian kosmos itu. Matahari kami ikut menari, melempar-lempar selendang apinya. Ledakan radiasi tiba-tiba ini mengganggu sinyal radio kami. Seluruh gelombang lumpuh. Satelit-satelit kami tak lebih dari kaleng-kaleng sampah yang mengambang tak karuan di orbit. Sebagian sudah jatuh, sebagian terpental ke angkasa entah.

Sang Penjaga Republik sibuk menuliskan catatan-catatan, memeriksa bawaannya. Kukatakan bahwa aku akan istirahat agak jauh darinya. Aku mencari tempat yang lebih teduh dan lebih datar. Aku membawa Madam K, kucing kesayanganku yang kini memasuki usia demensia, penyakit sendi dan tulang, tetapi ia tak pernah jauh dariku.

Aku membuka keranjang Madam K. Dialah yang menemaniku dari aku belum menikahi Syiwa, bersama Syiwa, dan ketika bercerai dengan Syiwa. Delapan dari jatah kehidupannya sudah ia habiskan untuk bersamaku. Tinggal sisa satu ini.

Perlahan kukeluarkan Madam K supaya ia bisa menggeliat dan berjalan sedikit-sedikit setelah entah berapa jam terbaring di keranjangnya. Madam K tertatih-tatih berjalan satu dua langkah mengitariku. Hidungnya masih tajam membaui udara. Kumis-kumisnya mempersepsi keadaan sekitar, dan dengan instingnya, ia mendekatiku. Udara tak baik, bau kematian dimana-mana, ada organisme yang bukan hasil ciptaan Ilahi yang kini sedang menguasai dunia, menjalar melalui air, melesat di udara. Organisme ini baunya seperti bau suamimu-mantan suamimu- ketika ia pulang dari tempat kerjanya. Suamimu menciptakan organisme itu. Kalian menyebutnya virus. Suamimu sering berdecak kagum, 'virus buatanku yang sangat elegan'. Begitu gumamnya di puncak kepuasan pencapaiannya. O, manusia, kenapa kau ciptakan kiamatmu sendiri. Tak menunggu saja kiamat yang dikirimkan Ilahi. Barangkali begitu kata-katanya kalau kita manusia mengerti bahasa Madam K. Bahasa nurani, Bahasa yang tak berhijab antara sang peujar dengan Ilahi. Sementara kami, manusia, malah menciptakan bahasa sendiri dan mendaki menara Babel.

Sudah kusiapkan sebenarnya satu ampul cairan euthanasia. Melihat Madam K tertatih-tatih, sementara aku sudah kehabisan obat anti radang sendi untuknya, aku berpikir bukankah lebih baik kusuntik mati saja Madam K untuk mengakhiri sakitnya. Juga aku tidak perlu khawatir akan nasibnya nanti, seandaianya aku lebih dulu mati.

Aku elus-elus Madam K, kutuangkan air ke wadah tempat minumnya. Aku bersandar ke salah satu bebatuan sambil terus kuelus-elus Madam K.

Dulu aku punya sembilan kucing, mereka pergi dari kehidupanku satu persatu. Sebagian karena tua, sebagian karena penyakit. Ada yang mati di dekatku, ada juga yang menghadapai kematian seperti pendekar mumpuni menghadapi kematian, mereka pergi jauh dan tak pernah kembali membuatku bertanya-tanya kemanakah mereka dan setelah beberapa minggu tak datang, aku seolah harus menyimpulkan sendiri bahwa mereka sudah mendahuluiku dan selama berminggu-minggu itu aku dikibuli Sang Harapan. Siang malam kutunggu, kusiapkan air minumnya, kusiapkan makanan kesukaan mereka. Wadah air mereka aku tutupi daun talas karena konon menurut cerita dari mulut ke mulut seturut kearifan lokal, kucing yang pergi akan datang kembali jika wadah tempat mereka biasa minum ditutup daun talas. Entahlah. Aku percaya saja karena daripada bertanya-tanya tentang kebenaran, lebih baik kita mengikuti satu ritual dengan harapan ritual tersebut bisa membuat keinginan kita terkabul. Begitu bukan?

Aku memperhatikan Madam K, tampaknya aku tak memerlukan suntikan euthanasiaku. Seperti kubilang, aku punya banyak kucing, hampir bisa kuramalkan bagaimana tanda-tanda mereka kalau mereka akan meninggalkan dunia ini. Tampaknya Madam K tidak bisa meneruskan perjalanan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline