Pemilihan presiden dan wakil presiden merupakan perwujudan demokrasi dalam sistem presidensial. Namun, dalam praktik ketatanegaraan, sistem presidensial di Indonesia sangat dilemahkan oleh konstitusi dalam hal kekuasaan kepala negara dan hukum, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan mengenai jabatan publik. Setiap lima tahun, Indonesia menghadapi tantangan besar yaitu pemilu untuk memilih pemimpin tertinggi negara. Pemilihan presiden atau disebut dengan pemilu presiden tidak hanya merupakan sebuah proses demokrasi, namun juga merupakan cerminan dari dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang berkembang di masyarakat.
Pemilihan presiden, sebagai salah satu proses demokrasi yang paling mendasar, menarik untuk dikaji dari perspektif teori kekuatan pengetahuan Michel Foucault. Dalam konteks pemilihan presiden, kekuatan pengetahuan tidak hanya mengacu pada penguasaan informasi, namun juga pada cara pengetahuan dibentuk, disebarluaskan, dan mempengaruhi opini publik. Pada pemilu presiden, ketiga kandidat dan tim kampanyenya membentuk narasi dan retorika untuk memperkuat posisinya. Media massa, platform digital, dan forum publik menjadi tempat berlangsungnya perdebatan ini, yang memengaruhi cara masyarakat memandang kandidat dan isu-isu kampanye.
Di era digital saat ini, informasi semakin mudah diakses, namun juga semakin mudah disalahgunakan. Kandidat yang menguasai atau mempengaruhi media massa dan platform digital dapat mempengaruhi cara informasi disajikan dan diterima oleh masyarakat. Hal ini menciptakan hubungan kekuasaan di mana kekuasaan politik dan kontrol informasi berinteraksi. Gerakan politik adalah proses demokrasi, dan ada unsur-unsur Foucauldian yang berperan di sini. Jejak pendapat, pemantauan media, dan strategi kampanye lainnya mencerminkan teknik pengawasan dan pendisiplinan yang digunakan untuk mengontrol dan mempengaruhi opini publik. Konsep biokekuasaan Foucault mengacu pada cara kekuasaan modern mengatur tubuh individu dan populasi, dan tercermin dalam strategi kampanye untuk memobilisasi massa. Kandidat mencoba mempengaruhi pemilih dan menggalang dukungan melalui retorika, janji, dan cerita.
Namun di mana ada kekuatan, selalu ada perlawanan. Dalam pemilu presiden, ada kelompok dan individu yang tidak setuju dengan penggambaran dan retorika calon pemimpin. Mereka dapat menggunakan berbagai cara seperti protes, gerakan oposisi, dan media alternatif untuk menantang dan melawan kekuasaan yang ada. Melalui kacamata teori kekuasaan dan pengetahuan Michel Foucault, kita melihat bahwa pemilihan presiden bukan hanya tentang pemilihan pemimpin, namun juga tentang dinamika kekuasaan, pengetahuan, dan perlawanan yang kompleks. Analisis ini mengingatkan kita untuk selalu kritis terhadap informasi dan narasi yang disajikan dalam proses politik, serta memahami bagaimana kekuasaan dan pengetahuan bekerja sama untuk membentuk realitas politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H