Festival Budaya merupakan salah satu cara untuk memperkenalkan budaya sebuah negeri, baik dari kulinernya, bahasa, alat musik, hingga tari-tarian. Bahkan bisa dibilang, strategi diplomasi sebuah negara akan jauh lebih efektif jika dilakukan melalui persembahan elemen-elemen budaya yang dimilikinya.
Lihat saja Korea Selatan yang gencar mempromosikan film-film, makanan hingga lagu-lagu Korea ke mancanegara, termasuk Indonesia, sehingga negeri itu kini menjadi salah satu tempat tujuan wisata dunia, termasuk para wisatawan dari Indonesia. Padahal, zaman tahun 1980-an, Korea Selatan masih jauh ketinggalan dibandingkan negara tetangganya, Jepang.
Nah, Indonesia pun tidak boleh kalah. Meskipun perhelatan budaya yang digelar kali ini tidak dalam skala besar, alias setingkat distrik atau kecamatan, tapi bolehlah kita mulai unjuk gigi memperlihatkan keberagaman kuliner, tari-tarian dan baju adat Nusantara di luar negeri.
Festival budaya setingkat kecamatan yang saya maksud adalah Festival L'Huveaune (baca: luvon), diambil dari nama sebuah sungai yang bermuara di kota Marseille, Prancis bagian selatan, yang berbatasan dengan Laut Mediterania. Pastinya sungai Huveaune ini juga melintasi distrik ke-11 Marseille, tempat diselenggarakannya festival budaya tersebut.
Tidak ada penjelasan sudah berapa kali festival budaya ini diselenggarakan, namun yang jelas distrik ke-11 termasuk yang paling sering menyelenggarakan berbagai acara untuk warganya yang kebanyakan didominasi para lansia dan pensiunan.
Indonesia, kata salah seorang kolega saya yang sudah lama tinggal di Marseille, termasuk sering diundang oleh distrik ini. Dan, tentunya undangan ini tidak disia-siakan oleh kami semua warga Indonesia, yang diwakili oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Marseille, untuk memberikan penampilan yang terbaik.
Booth Indonesia menjual berbagai kuliner Indonesia, seperti lumpia, klepon, dan nasi rendang, serta pernak-pernik khas Indonesia seperti baju batik, kebaya, kipas, bahkan dompet bermotif batik. Selain itu, di booth Indonesia juga terdapat permainan kuis dan pengenalan alat musik angklung.
Tidak hanya membuka booth, kami juga mempersembahkan tarian Saman dan Bajidor, orkestra kecil-kecilan dengan menggunakan angklung sebagai instrumen utama, serta peragaan busana daerah dari beberapa suku di Indonesia.
Festival yang bertempat di Taman Saint Marcel ini berlangsung dari jam 2 siang hingga jam 10 malam, padahal saat itu sedang bulan puasa Ramadhan. Kebayang dong bagaimana kami harus bersabar menghadapi antusiasme dan rasa penasaran para pengunjung, plus menyajikan makanan meskipun air liur ini bergulir, ha ha ha..
Untungnya para mahasiswa dan mahasiswi Indonesia ini juga sama-sama antusias ingin memperkenalkan budaya Indonesia kepada para pengunjung yang rata-rata didominasi warga setempat, baik itu orang Prancis asli, maupun Prancis keturunan dan warga imigran. Untungnya cuaca hari itu juga sedang lumayan bersahabat, karena akhir-akhir ini Marseille sering dilanda hujan angin dan itu jarang terjadi di bulan Mei.
Total ada 19 booth yang mewakili 19 negara yang turut berpartisipasi dalam festival ini. Selain Indonesia, ada pula booth dari Cina, Belanda, Israel, Brazil, Portugal, Timur Tengah, Spanyol, bahkan Amerika Serikat.