Jarang-jarang saya menonton film versi layar lebar asal Korea Selatan. Film pertama yang pernah saya tonton, meskipun jenisnya untuk konsumsi layar lebar, namun berhubung sudah turun tayang, jadinya saya menonton film tersebut di layar televisi yang diputar oleh salah satu stasiun tivi swasta Indonesia.
Kesan pertama saya terhadap film layar lebar buatan Korea Selatan: penceritaan yang bagus, menyentuh, beberapa adegan dramatis dengan gerakan slow motion, kualitas gambar yang prima, dan akting para aktor serta aktris yang nggak kalah keren dengan Hollywood star. Untunglah, karena saya pikir, film layar lebar Korsel akan sama saja dengan film versi layar gelas atau serialnya: cowok cantik, cewek-cewek berwajah serupa, dan baju-baju yang bikin mupeng. Ternyata tidak. Malahan sebaliknya, cenderung realis seperti menyaksikan film-film Eropa. Makanya tidak mengejutkan jika film-film Korea Selatan juga banyak bercokol di ajang festival film internasional.
Begitu pula dengan The Fabricated City, yang diputar pada acara Grand Opening CGV D’Mall Depok 31 Mei 2017 lalu. Meskipun sudah pernah rilis di Indonesia pada bulan Maret silam, film ini layak juga sih untuk ditonton lagi agar penonton dan masyarakat perfilman Indonesia bisa mempelajari sejauh mana Korea Selatan dapat bersaing dengan film-film Hollywood.
JIka film Korea Selatan pertama yang saya tonton ber-setting zaman peperangan, maka The Fabricated City menceritakan generasi milenial Korea Selatan yang kecanduan teknologi. Tidak terlalu berbeda dengan generasi milenial di Indonesia, generasi milenial Korsel dalam film tersebut digambarkan sebagai berikut: hidup cenderung soliter namun belum bisa lepas dari orangtua, pengangguran atau punya pekerjaan tapi tidak jelas kerjanya apa, solider dan kompak banget dengan teman-teman di dunia maya. Generasi milenial juga diidentikkan dengan tangan yang tidak bisa lepas dari gadget, begitu pula dengan film ini. Salah satu tokoh, Mr. Hairy, berbicara dengan teman-temannya pun harus melalui smartphone, meskipun posisi mereka saling berdekatan.
Adalah Kwon Yu, yang melambungkan nama sang bintang utama, Ji-Chang wook, mantan atlet taekwondo yang hidup menganggur setelah dipecat dari dunia olahraga gara-gara berkelahi dengan teman satu timnya. Ia sering menghabiskan waktunya bermain video game di warnet, dan membentuk sebuah tim beranggotakan lima orang (termasuk dirinya) yang dinamai Resurrrection. Di dalam tim dunia maya itu, Kwon Yu adalah kapten atau ketua tim.
Suatu hari, Kwon Yu mendapat telepon dari seorang gadis tak dikenal yang memintanya untuk mengembalikan sebuah HP yang tertinggal di warnet, ke sebuah alamat apartemen. Ia diiming-imingi akan dibayar 300 USD jika bersedia mengembalikan HP tersebut. Sampai di apartemen pada malam hari, Kwon Yu digambarkan mengembalikan HP, berbicara seperlunya pada sang gadis yang sedang mandi dari balik toilet dengan pintu tertutup, hendak keluar dari apartemen. Lalu tiba-tiba adegan berpindah dirinya digerebek polisi dalam keadaan tangan berlumuran darah dan darah yang berceceran di atas sofa. Ia dituduh melakukan pemerkosaan dan pembunuhan terhadap gadis tersebut, tanpa diberikan waktu dan kesempatan untuk membela diri.
Begitu pula dengan pengadilan yang menjatuhinya hukuman seumur hidup. Di sini, penonton diperlihatkan seolah-olah tidak ada celah sedikit pun bagi para penjahat kriminal pelaku pemerkosaan untuk mengucap sepatah kata pembelaan pun. Bagus sih kalau tersangkanya memang benar si pelaku tindak kejam tersebut, tapi Kwon Yu merasa dia hanyalah korban dari sebuah jebakan yang dirancang sempurna.
Kemudian, adegan demi adegan brutal saat Kwon Yu disiksa selama di penjara dipertontonkan, yang membuat film ini memang tidak layak disaksikan oleh anak-anak. Untungnya Kwon Yu ini mantan atlet, jadi ia mampu bertahan hidup walaupun badannya pasti sudah terasa remuk seperti diduduki gajah. Bahkan, pemuda yang tubuhnya tampak lebih ringkih ketimbang musuh-musuhnya berhasil melarikan diri dari penjara. Di sinilah Kwon Yu mulai berjuang membersihkan nama baiknya dan mencari ‘otak udang’ di balik jebakan yang menimpanya.
Jalinan kisah yang kuat membuat film ini layak ditonton hingga akhir, apalagi penjahat utamanya tidak tertebak hingga sampai pertengahan cerita. Meskipun di satu sisi, agak aneh juga sih melihat Kwon Yu yang masih di penjara tiba-tiba mukanya sudah kembali ‘cling’ setelah beberapa hari sebelumnya bengkak sana-sini akibat dihajar sampai semaput, hanya tersisa sedikit goresan di tulang pipi.
Tokoh-tokoh lainnya, Mr. Hairy, Demolition, Min Cheon-sang begitu berkarakter sehingga seolah-olah saya sedang membaca atau menonton film kartun detektif Conan, tapi kali ini dengan tokoh manusia asli. Misalkan Min Cheon-sang (Oh Jung-se), si pengacara berkacamata dengan rambut klimis dan tanda lahir yang memenuhi sebagian wajah, serta tatapan sayu. Dari awal film saya sudah curiga dengan sosok ini yang terkesan kalem tapi dingin. Atau Mr. Hairy (Shim Eun-kyung), yang selalu menutupi sebagian wajahnya dengan poni rambut, susah tersenyum, tapi pintarnya bukan main saat sudah berurusan dengan retas-meretas teknologi komputer.
Yah, tidak heran film ini diputar di ajang Festival Film Berlin, juga dirilis di Australia dan New Zealand, serta dipuji-puji oleh The Hollywood Reporter, majalah yang sering mengulas film-film blockbuster. Tapi, bagi saya pribadi, film ini seperti menggabungkan action a la Fast Furious 8 dengan balapan mobil serta sosok hackerprotagonis-antagonis, kisah The Hunger Games terutama saat-saat berada di penjara, dan Mission Impossible untuk tim Resurrection-nya dengan berbagai peralatan canggih.