Lagi-lagi, serangan aksi teror kembali melanda kota Paris pada Kamis malam 21 April kemarin. Kali ini, tempat penyerangan itu terjadi di kawasan elit Champs-Elysées, yang terkenal juga dengan kawasan butik-butik kelas dunia seperti Hermès, Louis Vuitton, Sephora, dan banyak lagi. Namun, tragedi itu justru saya ketahui dari status facebook seorang mahasiswi Indonesia kenalan saya yang sedang menempuh studi di kota tersebut.
Kebetulan teman saya ini dengan seorang mahasiswi Indonesia lainnya sedang melintas di kawasan tersebut setelah sebelumnya berfoto-foto di depan monumen Arc de Triomphe sekitar jam 8 malam. Champs-Elysées yang saat itu sedang dipadati turis tiba-tiba dikejutkan dengan suara tembakan lima kali, yang awalnya dikira suara mercon. Teman saya pun refleks berlari mencari tempat persembunyian ke restoran terdekat, masih dengan diiringi suara tembakan di sekelilingnya. Alhamdulillah keduanya berhasil pulang dengan selamat ke apartemen masing-masing, meskipun trauma yang dirasakannya tentu akan membekas di ingatan.
Kejadian Teror di Jakarta
Kejadian serupa juga pernah saya alami, namun saat itu saya berkantor di gedung pusat kebudayaan Prancis di samping Sarinah, Jakarta. Kala itu bulan Januari tahun 2016, pagi hari yang cerah ketika tiba-tiba saya mendengar suara dentuman. Awalnya saya pikir apakah ada barang konstruksi yang terjatuh ke tanah, berhubung di sebelah gedung kantor kami sedang ada proyek pembangunan, dan di depan kantor sedang dilaksanakan proyek MRT. Namun, selang beberapa menit saja saya lihat ada asap pekat mengepul yang terpantul di kaca gedung sebelah yang terlihat dari jendela bilik kantor saya.
Penasaran, saya lari ke bawah (bilik kantor saya di lantai atas) untuk mengetahui apa yang terjadi. Baru saja mau keluar pintu, saya sudah dihalau oleh satpam dan seorang staf petinggi Prancis yang memerintahkan kami untuk masuk ke dalam gedung. Tepat ketika saya membuka pintu, saya mendengar suara rentetan tembakan. Jika saya terbiasa mendengar suara tembakan di film-film action, kali ini rentetan tembakan itu terdengar begitu nyata, dan sontak membuat jantung saya berdetak cepat.
Belum juga habis keterkejutan saya, tiba-tiba terdengar suara dentuman lagi, kali ini lebih dalam, lebih kencang, yang saya duga dari arah Sarinah. Saya dan teman-teman sudah ketakutan apakah gedung kantor kami ini jadi sasaran amukan para teroris, berhubung negeri Prancis juga terus-menerus dilanda teror. Apakah para teroris itu tidak berpikir bahwa sebagian besar yang bekerja di gedung ini justru orang Indonesia dan kebanyakan dari kami adalah muslim? Untungnya dugaan saya keliru, karena para teroris itu sebenarnya ingin menyerang Starbucks di daerah Thamrin yang dianggap hegemoninya kaum kafir Amerika Yahudi.
Teror di Prancis, Reaksi Kemarahan Masyarakat Muslim Prancis terhadap Pemerintah?
Selama tiga tahun berturut-turut sejak tahun 2015, kota Paris dan kota-kota tetangganya di Prancis selalu dilanda teror. Teror di Prancis pertama kali terjadi saat ada aksi penyerangan ke kantor tabloid Charlie Hebdo pada bulan Januari 2015, setelah penerbitan kartun Nabi Muhammad yang kontroversial dan menyulut amarah kaum muslim dunia. Teror kedua menyasari penduduk sipil yang sedang menonton konser di panggung Bataclan pada bulan November 2015, juga di kota Paris. Teror ketiga terjadi pada perayaan hari kemerdekaan Prancis tahun 2016 di kota Nice (yang dimaksud hari kemerdekaan Prancis adalah kemenangan kaum republik dan rakyat jelata meruntuhkan kaum aristokrat). Teror tersebut dilakukan dengan cara menggiring sebuah truk besar ke tengah kerumunan turis dan menewaskan 84 orang. Sayangnya, pelaku dari ketiga teror ini adalah para imigran muslim, atau warga Prancis keturunan imigran asal negara-negara kawasan Maghribi seperti Tunisia dan Aljazair. Sebenarnya masih banyak teror dengan skala lebih kecil yang terjadi di berbagai kota di Prancis, namun tidak terlalu diekspos oleh media internasional.
Saya di sini tidak akan menulis menggunakan analisa-analisa yang rumit dan detail, melainkan berdasarkan pengamatan sederhana saya sebagai orang yang pernah dekat dengan Prancis, baik dari sisi personal maupun profesional. Negara Prancis memang diakui sebagai negara multikultur dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di Eropa, melebihi Inggris. Menurut Wikipedia, populasi penduduk muslim di Prancis mencapai 4.710.000 atau 7,5%, dibandingkan Inggris yang hanya 2.422.000 atau 4,6%. Namun yang saya rasakan selama tinggal di Prancis maupun beberapa kali mengunjungi negeri itu, penduduk muslim Prancis seakan-akan masih termarjinalkan terutama dari segi ekonomi dan pendidikan.
Meskipun harus diketahui juga banyak warga muslim Prancis yang hidup sejahtera bahkan memiliki profesi bagus seperti dokter, pengacara, ilmuwan, profesor di universitas, bahkan aktor dan komedian terkenal. Sebut saja Djamel Debbouze yang pernah bermain di film Astérix: Mission Cléopatre, dan Omar Sy yang juga banyak bermain di film Hollywood seperti X-Men dan Inferno. Banyak dari warga muslim Prancis yang juga bekerja di kepolisian, dan beberapa di antaranya pernah saya temui dalam berbagai kesempatan. Misalkan di bazar internasional di Paris, ada agen polisi yang menyamar sebagai pengunjung biasa merupakan warga muslim, dengan wajah Arabnya, ada juga yang berwajah Afrika kulit hitam. Atau ketika saya mengunjungi kota Grenoble pada tahun 2015, saya terkejut mendapati sebuah asrama mahasiswa yang dikelola oleh warga Arab Prancis berjilbab, tidak hanya satu, bahkan hampir semua pegawainya berjilbab.
Saya tidak tahu persis mengapa mereka yang termarjinalkan ini seakan-akan sulit untuk berintegrasi ke dalam kultur Prancis. Padahal dari segi komunikasi, bahasa Prancis bagi sebagian warga imigran atau keturunan imigran sudah menjadi bahasa kedua mereka karena adanya politik Prancis di masa lampau yang mengharuskan warga negara jajahannya menggunakan bahasa Prancis sebagai bahasa resmi. Memang dari segi nilai-nilai budaya, bisa jadi ada beberapa hal yang bertolak belakang dengan nilai-nilai dan prinsip yang dianut warga muslim. Misalkan cara hidup, pilihan makanan, pilihan berbusana, dan hal lainnya. Selain itu, prinsip sekularisme yang dianut pemerintah mungkin menyebabkan warga Muslim merasa tidak bebas menjalankan ibadahnya. Maka, sebagian dari mereka mungkin memilih untuk tidak menyatu dengan kultur dan budaya setempat lalu membentuk komunitas sendiri. Apalagi, masyarakat Prancis pada umumnya yang saya lihat memang tidak terlalu terbuka terhadap warga asing, kecuali jika si warga asing ini melakukan pendekatan-pendekatan terlebih dahulu terhadap warga lokal dengan cara menyelami budaya mereka.