Dulu sekali waktu saya masih kecil, mungkin masih duduk di bangku SD, saya pernah diajak almarhumah ibu mengunjungi pusat kerajinan batik Pekalongan yang masih punya hubungan saudara dengan kami. Kenangan yang sudah sangat samar-samar hanya menyisakan sebuah ruangan yang luas dikelilingi tembok, dengan para pengrajin batik tulis yang terdiri dari ibu-ibu, sedang menorehkan canting mereka ke atas sehelai kain putih polos. Kemudian saya digiring ke sebuah ruangan lain yang berisi bak-bak besar untuk merendam batik dengan zat pewarna. Saya juga diajak memasuki sebuah ruangan lainnya berisi beberapa orang pria membubuhkan papan stempel dengan motif tertentu ke atas sehelai kain putih polos lainnya, yang nantinya dinamakan batik cap.
Selang tiga puluh tahun kemudian, tidak disangka saya akan kembali lagi melihat dari dekat proses pembuatan batik. Namun, kali ini batik yang saya temui adalah batik khas Tangerang Selatan, yang dulunya disebut juga dengan batik Banten. Berkat komunitas Ketapels dari Kompasiana, saya juga baru mengetahui bahwa Banten pun memiliki motif batik yang khas.
Kisah Ibu Nelty Menjalani Bisnis Batik Tangsel
Jadi, ceritanya tanggal 25 Maret 2017 yang lalu, Ketapels memperkenalkan batik Tangerang Selatan (atau disingkat batik Tangsel) kepada sekitar dua puluhan orang Kompasianer terpilih, langsung di bengkel kerajinan batik milik Ibu Nelty, Griya Batik Sekar Purnama, yang terletak di Pondok Aren. Kompasianer tidak hanya menerima wejangan dari Ibu Nelty mengenai batik Tangsel, melainkan juga diajak untuk praktek membatik, loh!
Membatik itu ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi canting yang digunakan harus direndam terlebih dahulu ke dalam malam yang dilelehkan di atas sebuah tungku kecil. Terbayang panasnya seperti apa, deh. Belum lagi asap yang mengepul dari cairan malam yang mendidih memenuhi ruangan, membuat hawa di dalam ruangan membatik terasa pekat. Jari tangan saya yang ketumpahan cairan malam yang panas baru benar-benar sembuh seperti semula selama nyaris dua minggu. Belum lagi ketika kain batik dicelupkan ke dalam zat perwarna, dan mengeluarkan bau kimiawi yang menusuk hidung dan berbahaya untuk dihirup. Maka dari itu Ibu Nelty terkadang kesal dengan permintaan pembeli yang aneh-aneh. Ingin harga murah tetapi motifnya harus bagus dan kainnya berkualitas.
Meskipun begitu, Ibu Nelty yang memulai bisnis batiknya sejak tahun 2004 menjalaninya dengan senang hati. Bernama lengkap Nelty Fariza Kusmilianti, ibu yang selalu memberi penjelasan dengan semangat 45 ini ternyata sudah mengenalkan batik Tangsel ke mancanegara. Di antaranya Jepang, RRC, Australia, Jerman, bahkan hingga ke Zimbabwe dan Zambia. Warna-warna batik Tangsel yang didominasi warna cerah seperti hijau toska dan merah justru banyak disukai konsumen ibu-ibu di Afrika.
Selain itu, motif flora dan fauna yang dominan namun khas juga menjadi nilai lebih batik Tangsel. Biasanya, flora dan fauna yang diangkat menjadi motif batik Tangsel merupakan tumbuh-tumbuhan dan hewan lokal khas Banten, seperti bunga yang ditemukan di Situ Gintung dan Ayam Wareng. Selain itu, motif batik Tangsel ada juga yang bercorak budaya seperti Ondel-Ondel dan Rampak Bedug. Tujuan dari diperkenalkannnya motif-motif khas daerah Banten ke dalam batik Tangsel tentunya adalah untuk mempertahankan kearifan lokal.
Batik Sebagai Baju Santai untuk Generasi Milenial
Namun, bukan berarti karena sifat motifnya yang lokal, batik kemudian hanya bisa dipakai pada acara-acara formal saja. Kata Mbak Leonita Julian, lifestyle blogger yang juga diundang menjadi salah satu pembicara, batik pun bisa dipadu padankan dengan jeans sehingga berkesan casual dan bisa dikenakan di acara santai. Tips dari Mbak Leonita, dalam mengenakan batik, anggap saja batik itu kain, sama seperti bahan baju lainnya yang kita kenakan sehari-hari. Selain itu, padukan dengan kain atau baju lain yang tidak bermotif alias polos, agar tidak terkesan tabrak lari.
Bagaimana pun, agar budaya memakai batik tetap diteruskan ke generasi selanjutnya, terutama anak-anak muda masa kini yang lebih dikenal dengan sebutan generasi milenial, adalah dengan memahami psikologis mereka terlebih dahulu. Menurut Mbak Leonita, generasi milenial (pastinya) tidak seperti generasi pendahulu yang cenderung penurut. Oleh karena itu, jangan memaksakan mereka mengikuti gaya kita (maksudnya generasi pra milenial seperti saya ini 😃) karena mereka punya taste tersendiri. Salah satu alternatifnya, bisa juga memasukkan unsur batik ke dalam beberapa peragaan busana internasional, seperti yang sudah dilakukan Jakarta Fashion Week.
Alternatif lainnya untuk melestarikan batik bisa juga dengan membuka bisnis batik seperti yang dilakukan Ibu Nelty. Apalagi, sekarang sudah ada fasilitas kredit dari Bank Danamon untuk para pelaku usaha kecil dan menengah, termasuk bagi para pengusaha batik seperti Ibu Nelty.