Pada artikel sebelumnya saya pernah menuliskan sebuah artikel yang berjudul " Kehadiran Seorang Sahabat ( Antara Ketulusan Dan Kepentingan ). Saat ini juga saya mau berbagi tentang pengalaman singkat tentang sahabatku yang baik hatinya,hehehehe. Berbicara tentang sahabat adalah sesuatu yang menarik bagi saya.
Saya dan kita semua adalah manusia biasa yang tentu menginginkan sahabat. Gambaran sahabat bagi saya adalah seseorang yang selalu ada dan siap bersama saya di kala suka dan duka. Mungkin bagi para pembaca defenisi tentang sahabat berbeda.
Sahabat adalah orang yang saya percayai yang mampu menyimpan rahasia saya atau cerita hidup saya. Karena tidak semua pribadi bisa menjadi sahabat.
Saya memiliki banyak sahabat. Tapi dari sekian banyak sahabat itu ada satu orang yang menjadi teman untuk bersharing dan berbagi. Itu terjadi ketika kami memasuki masa novisiat.
Tidak ada yang istimewa dalam persahabatan itu selain adanya pemberian diri. Pemberian diri merupakan langkah awal untuk menjalin relasi yang akrab dan harmonis. Kok sampai pemberian diri ya ? Ya, itu betul. Karena dalam pemberian diri itu ada kemauan ( kemauan untuk mendengar,kemauan untuk berbagi,kemauan untuk berbicara,dll).
Suatu hari sahabat saya meminta supaya saya segera membelikan pesanannya. Saat itu juga saya tidak memiliki kesempatan untuk pergi ke kota untuk mencarikan barang pesanannya tersebut.
Karena saya tidak bisa membantunya akhirnya dia meminta teman saya yang lain yang kebetulan punya waktu untuk mencarinya. Hari selanjutnya dia meminta saya untuk menemaninya belanja. Dan memang saya tidak punya waktu untuk itu dengan alasan saya kuliah.
Ternyata sikap saya yang demikian dianggapnya sebagai suatu bentuk penolakan . Menolak untuk tidak berteman lagi dengannya. Hari demi hari berlalu seolah ada jarak diantara kami. Setiap kali disapa selalu ketus jawabannya. Saya heran dengan sikapnya,ketika ditanya apa penyebabnya jawabannya hanya diam. Sikap diam darinya membuat saya mulai menebak -nebak isi hatinya.Hehehe. Bisa saja dia kesal dengan sikapku yang tidak menuruti permintaannya. Permintaan itu bukanlah prioritas utama saya. Tugas utama saya adalah studi dan belajar dengan baik. Harapan saya waktu itu dia mampu memahami keadaan saya waktu itu. Karena jawaban saya itu bukan hanya sekedar alasan untuk menghindar tapi realita .Saya pun tidak memaksanya untuk menjawab sapaan saya.Barangkali itulah pilihan terbaik baginya. Pertanyaannya ,Apa yang menjadi refleksi saya dari pengalaman kecil itu ?
Dalam sebuah relasi segala sesuatunya mungkin terjadi (probabilitas), sebab itu beralaskan sebuah kepentingan: antara kepentingan kelompok atau pribadi. Kepentingan ini diramu dalam pelbagai atau ragam alasan memanfaatkan relasi itu untuk sesuatu yang acap kali dimengerti sebagai sesuatu yang berharga sebab disana ada nilai yang lebih tinggi dari relasi itu. Di samping itu, tak jarang seseorang mengorbankan persahabatannya demi sebuah harga diri dan kuasa (agar dipandang orang hebat dan kelihatan cerdas) atas sebuah kompetisi.
Persahabatan yang terjalin selama ini menumbuhkan benih-benih cinta yang tertuang dalam sukacita, keterbukaan, saling percaya dan mau berbagi. Sekarang berubah menjadi ujaran kebencian, dendam, amarah dan saling menyingkirkan. Kebersamaan disisihkan oleh sebuah ilusi kebohongan.
Ragam kriteria seseorang mendefinisikan sahabat dan musuh. Pengalaman mengajarkan betapa sulitnya menemukan seorang sahabat daripada seribu musuh. Tak heran bila muncul pertanyaan, di antara sekian banyak orang-orang yang mencintai dan dekat dengan saya, apakah mereka itu sahabat atau musuh?