Lihat ke Halaman Asli

Dina Finiel Habeahan

be do the best

Bersedia Dikoreksi dan Mengoreksi, Berani?

Diperbarui: 6 November 2020   22:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tadi pagi saya belanja ke pasar untuk membeli kebutuhan komunitas baik kebutuhan pangan maupun sandang. Daftar belanja sudah kian disiapkan. Jadi saya tinggal membelinya ke tempat langganan kami. Kurang lebih 2 jam saya menghabiskan waktu untuk belanja. Setelah itu saya panggilkan becak untuk mengantar belanja kami ke rumah.

Setibanya di rumah,teman-teman sudah membereskan sebagian barang belanjaan tersebut. Anehnya, ada beberapa sayur yang belum mereka masukkan di kulkas. Lantas saya bertanya ,mengapa tidak di masukkan ke kulkas ? Seorang teman langsung berkomentar, " Gauden kayaknya peleng ini menjadi menu favorit kita ya! ". Saya langsung teringat bahwa memang dia tidak suka makan sayur peleng. Tapi saya hanya tersenyum saja. Saya tidak menjawabnya. Lagi-lagi dia berkata jus kita pun terus jambu merah,sekali-sekali beli kek tiung atau yang lain. Bosan ini saja.

Saya kurang sabar mendengar perkataannya itu.Akhirnya saya balik menjawabnya " Kalau begitu mengapa tidak kamu yang belanja? Kalau kamu belanja bisa kamu beli sesuka hatimu. Kalau saya belanja ,yah saya beli apa yang sudah tertulis. Saya sadar bahwa jawaban saya itu adalah salah satu cara untuk membela diriku. Tapi dilain sisi saya juga suka mengoreksi orang lain. Suka mengkritik orang lain. Tapi ketika giliran saya dikritik sering saya tidak siap menerimanya dan akhirnya mencari alasan untuk membela diri. Malu mengakui kekalahan dan kesalahan.

Cecilius mengungkapkan bahwa manusia adalah "Allah" bagi sesamanya. Hal ini disadari karena kehadiran sesama membawa berkat dalam kehidupannya. Hal senada juga diungkapkan oleh Cicero dan Plinius dengan menekankan manusia merupakan Allah bagi sesamanya bila saling membantu, mendukung dan meneguhkan. Dasarnya adalah sesama itu merupakan imago Dei, gambar Allah. Itu sebabnya di dalamnya termuat cinta, rasa hormat, kagum dan terbuka untuk yang lain .

Hal ini berbanding terbalik dengan manusia adalah serigala bagi sesamanya sehingga manusia sedemikian keji terhadap sesamanya. Demi popularitas diri, demi kenaikan jabatan atau pangkat dan karier orang tidak segan-segan menghancurkan sesamanya. Kita bisa melihat fakta yang sedang terjadi bahwa orang dengan mudahnya memfitnah sesamanya, kritikan yang dilontarkan bernada provokatif, mencari muka, cuci tangan atas kesalahan yang diperbuat, tak ada rasa takut akan Allah sebab semua halal untuk sebuah kepentingan pribadi atau golongan, dan lain sebagainya.

Bila diberi kritikan atau saran atau sanggahan, dalih pada orang lain alias kambing hitam daripada mengakui kesalahan. "Aku ini kan sama seperti engkau, manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa." Kalimat ini kerap dijadikan sebagai alasan untuk membela diri dengan menyembunyikan kesalahan dan dosa yang telah dibuatnya. 

Padahal, ungkapan itu merupakan wujud dari kesadaran bahwa ia adalah pribadi yang berkarakter, yang secara elegan menerima dan siap dikritik. Pribadi berkarakter selalu menampilkan diri sebagai pribadi yang utuh, unik dan mandiri. Kesalahan perlu diperbaiki. Berani mengakui kesalahan merupakan keutamaan penting dalam konteks hidup bersama. 

Semoga kita menjadi pribadi-pribadi yang siap dikritik dan siap mengkritik...

Siap dikoreksi dan siap mengoreksi

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline