Lihat ke Halaman Asli

Dina Abiyah

Mahasiswa semester 1 jurusan T.IPS Universitas Islam Negeri Siber Syekh Nurjati Cirebon

Labeling masyarakat terhadap jurusan IPS

Diperbarui: 22 Desember 2024   09:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebelum munculnya Kurikulum Merdeka yang mulai diluncurkan pada tahun 2022 (menurut website Kemendikbud Ristek), telah diterapkan kurikulum 2013 atau biasa disebut dengan Kurtilas. Dalam Kurtilas dikenal dengan penerapan pembagian jurusan di jenjang sekolah menengah atas, dengan pembagiannya yaitu jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Bahasa, dan pada Kemenag ditambahkan jurusan keagamaan.

Di tahun 2024 ini, beberapa sekolah masih terdapat penerapan pembagian jurusan tersebut. Artinya, Kurikulum Merdeka belum diterapkan seratus persen pada suatu lembaga karena masih terdapat angkatan dengan penggunaan Kurtilas.

Dengan diterapkannya pembagian jurusan ini, terdapat suatu realitas masyarakat dimana terjadi pelabelan atau dikenal dengan istilah labeling. Dimana siswa dengan jurusan IPA dicap sebagai anak-anak yang pintar, rajin dan nurut, siswa dengan jurusan IPS dicap sebagai anak-anak yang malas, bandel dan sulit diatur, siswa dengan jurusan bahasa yang dicap harus bisa dan mahir semua bahasa, dan jurusan keagamaan yang harus memahami betul akan urusan agama.

Dikutip dari Kompas.com yang mengutip dalam buku Pengendalian Masalah Sosial Melalui Kearifan Lokal (2015) karya Masrizal, Edwin M. Lemert mendefinisikan teori labeling adalah teori tentang seseorang jadi menyimpang karena adanya proses labeling oleh masyarakat. Labeling atau pelabelan yang diberikan oleh masyarakat terhadap seseorang tersebut mengakibatkan dampak negatif tersendiri dari pihak yang mendapatkan cap tertentu.

Terkait labeling tersebut terjadi pada siswa yang memilih untuk masuk jurusan IPS. Adanya keanehan dimata masyarakat ketika melihat siswa yang pintar masuk ke dalam jurusan IPS dan seakan-akan menuntut harus mengambil jurusan IPA adalah salah satu bentuk nyata dari teori labeling.

Semua orang memiliki kepribadian dan karakter masing-masing serta tidak dapat "dikotak-kotakkan". Akan tetapi, tidak dapat disangkal bahwa kebanyakan dari anak-anak jurusan IPS mempunyai karakteristik nakal yang berbeda di mata masyarakat, hal tersebut bisa saja dikatakan sebagai salah satu akibat dari adanya pelabelan tersebut.

Padahal dalam realitanya, banyak tokoh-tokoh terkenal dan hebat yang bergelut di bidang ilmu-ilmu sosial seperti Auguste Comte, Emile Durkheim, Max Weber, Selo Soemardjan, Najwa Shihab, Rocky Gerung, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh hebat lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa orang hebat bukan dilihat dari "apa jurusannya" tapi bagaimana dia memahami dan memanfaatkan ilmunya. Di sini juga dibuktikan betapa berpengaruhnya tokoh-tokoh di atas dalam melihatkan peran Pendidikan IPS kepada dunia.

Ibu Septiani Resmalasari, M.Pd., Dosen mata kuliah Konsep Dasar IPS di Universitas Siber Syekh Nurjati Cirebon menyebutkan bahwa "Dampak negatif dari tidak adanya IPS dalam kurikulum adalah siswa tidak akan memahami bagaimana hubungan, peran dan kewajibannya di masyarakat. Dan juga sebagai contoh, di Indonesia yang menjadi landasan dalam pemerintahan adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang dapat dipahami melalui ilmu-ilmu sosial. Tanpa ilmu sosial tidak akan ada pemerintahan, lembaga, dan perangkat negara lainnya. Adanya ilmu sosial menjadi penyeimbang dengan keberadaan ilmu alam."

Tanpa Pendidikan IPS yang mempelajari ilmu-ilmu sosial seperti Geografi, Sejarah, Ekonomi, Sosiologi, Politik, Hukum, Antropologi, Psikologi, Kewarganegaraan, bahkan mencakup humaniora, pendidikan dan agama maka seseorang tidak akan mengetahui peran dan tanggung jawab di dalam masyarakat. Karena pada dasarnya tujuan utama Pendidikan IPS adalah "mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi dan melatih keterampilan untuk mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa diri sendiri atau masyarakat" (Ibid dalam Susanti).

Dengan dihapuskannya sistem jurusan seperti pada Kurtilas memiliki dampak positif tersendiri karena tidak akan lagi adanya "diskriminasi jurusan". Akan tetapi, ilmu sosial akan tetap ada dan terus berkembang. Kedepannya diharapkan ilmu sosial ini mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat dan munculnya pandangan masyarakat yang baik terhadap ilmu sosial karena dapat dilihat urgensi dari eksistensi ilmu-ilmu sosial di semua aspek kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline