Oleh:
Dr. H. Husin Bafadhal, Lc, MA, Dr. Minnah Elwiddah, M.Ag
Dina Widiastuti, Dwi Lestari, M. Kholid
Dinasti Abbasiyah yang kita kenal sebagai masa keemasan atau worldview yang sungguh berkesan dengan adanya sebuah perpustakaan besar di Baghdad yang bernama Baitul Al-Hikmah. Ada banyak terdapat catatan-catatan dari para ilmuwan Islam saat itu. Bahkan bangsa Barat pun mengetahui majunya ilmu pengetahuan Islam hingga tertarik untuk mempelajari bagaimana peradaban itu bisa sangat maju ditengah keadaan mereka (bangsa Barat) yang sedang mengalami Dark Ages atau zaman kegelapan.
Tidak hanya di ilmu pengetahuan saja, bangsa Barat juga mengambil contoh perekonomian, politik, perdagangan, serta kehidupan sosial didalam peradaban Islam. Tentu saja saat itu, Islam menjadi pusat peradaban dunia, di mana para ilmuwan-ilmuwan serta kepemimpinan sang khalifah menjadi teladan yang baik untuk kedepannya. Tidak heran jika bangsa Barat ingin mencoba mengambil catatan-catatan ilmuwan tersebut dan mencoba untuk menerjemahkannya.
Jika kita menelisik lebih dalam, mengapa saat itu Islam mampu menjadi peradaban yang maju?
Mari kita lihat dari segi kualitas manusia saat itu yang cenderung memiliki rasa ingin tahu yang lebih kuat, terbukti dengan banyaknya filsuf-filsuf terkenal seperti al-ghazali, ak-kindi, ibn sina dan lainnya. Mereka memberikan beragam pandangan, karya dan prestasi yang mengubah wajah Islam begitu berkualitas.
Selain itu, kita juga harus memiliki sikap atau dalam bahasa inggris disebut “attitude”. Lalu bagaimana sikap yang harus kita terapkan dalam menimba ilmu? Yaitu sikap dalam menghadapi persoalan-persoalan ilmiah seperti sikap kritis, ingin tahu, terbuka, objektif dan lainnya.
Sumber Ilmu Menurut Islam
Dalam perspektif agama Islam, ilmu bersumber dari Allah SWT yang diketahui oleh manusia melalui wahyu-Nya yang tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan yang utama. Adapun petunjuk-petunjuk Al-Qur’an tentang cara-cara memperoleh pengetahuan atau kebenaran pada dasarnya ada 3 macam, yaitu melalui panca indera, melalui akal, dan melalui wahyu. Bagaimana maksud dari ketiga macam metode tersebut?
Dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang memerintahkan manusia menggunakan inderanya dalam mencari ilmu pengetahuan, yaitu dengan penggunaan kata-kata seperti: qala (menimbang), qadara (ukuran/ketentuan), dan lain-lain. Kata-kata tersebut menandakan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui observasi terhadap segala sesuatu yang merupakan dasar dari pemikiran, perhitungan, dan pengukuran. Dengan indera inilah dapat dilakukan observasi dan ekperimen.
Di dalam Al-Qur’an terdapat metodologi pengetahuan yang memperkuat adanya pengetahuan indera itu, namun Al-Qur’an juga menerangkan keterbatasan indera manusia sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Al-Qur’an mengecam orang-orang yang hanya mengandalkan inderanya untuk memperoleh kebenaran, misalnya yang dikisahkan oleh Al-Qur’an tentang kaum Nabi Musa yang ingin melihat Tuhan secara langsung. Al-Qur’an juga menyebutkan adanya realitas yang tidak bisa diamati dengan indera, yang menunjukkan bahwa indera itu terbatas jangkauannya dalam mencapai kebenaran.
Di atas pengetahuan indera masih ada pengetahuan yang lebih tinggi yaitu pengetahuan akal. Adanya pengetahuan itu dapat dipahami dari beberapa kata yang dipakai dalam AlQur‟an seperti: tafakkur (merenungkan), ta‟aqqul (memikirkan), tafaqquh (memahami), dan lain-lain. Kata-kata itu menunjukkan kepada akal sebagai metode bagi manusia untuk memperoleh ilmu.
Pentingnya Ilmu Pengetahuan
Agama Islam memberi keistimewaan dalam persoalan ilmu. Dalam Al-Qur‟an kata al-‘ilm digunakan lebih dari 780 kali. Allah swt. berfirman yang artinya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS Al-Alaq: 1-5).
Ayat ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya membaca, pena, dan ajaran untuk manusia agar memiliki ilmu pengetahuan. Dalam Islam pun ditegaskan bahwa orang muslim harus menuntut ilmu yang berguna, dan melarang mencari ilmu yang bahayanya lebih besar dari manfaatnya. Hadist Nabi mengatakan: “Sebaik-baik ilmu ialah yang bermanfaat”.
Lalu, bagaimana menurut pandangan Bangsa Barat terhadap ilmu pengetahuan?
Menurut Abudin Nata, jika rukun Islam ada lima, rukun iman ada 6, maka rukun ilmu ada 3, yaitu epistemologi, ontologi dan aksiologi. Secara sederhana, epistemologi adalah bagaimana cara ilmu itu didapat. Ontologi adalah objek atau materi yang dibahas di dalam ilmu. Sedangkan aksiologi adalah kegunaan ilmu. Ketiga rukun ilmu itulah yang membedakan konsep ilmu dalam Islam dengan Barat.
Dalam pandangan ilmuwan Barat, sumber ilmu hanya ada dua yaitu panca indra (senses) dan akal (ratio). Sementara dalam Islam, selain panca indra dan akal, terdapat sumber dari wahyu, pandangan otoritas (orang yang pakar di bidangnya) dan juga intuisi (ilham). Itulah sumber ilmu dalam Islam. Perbedaan itu membuat ilmu dalam peradaban Barat menafikan kehadiran wahyu dalam ilmu. Inilah perbedaan yang mencolok antara konsep ilmu di dalam Islam dan dalam peradaban Barat.
Bahkan, kaum Kristen di Eropa, menurut Tim Wallace-Murphy, mengenal ilmu pengetahuan bukanlah langsung dari warisan tradisi Yunani, tetapi melalui buku-buku berbahasa Arab yang ditulis oleh Ilmuwan-ilmuwan Muslim dan Yahudi. Mereka belajar dan menerjemahkan secara bebas pada pusat-pusat pembelajaran Islam di Spanyol, yang disebutnya sebagai “the gratest culture centre in Europe”. Ketika itu Barat menjadikan kampus-kampus di Spanyol sebagai model. Tahun 1263 berdirilah Oxford University, dan tak lama sesudah itu berdiri Cambridge University. “It was well known and respected colleges in al Andalus that became a models on which Oxford and Cambridge were based,”tulis Wallace-Murphy. Nah begitulah singkatnya bahwa kampus-kampus terkenal di Eropa seperti Oxford dan Cambridge didirikan dengan mengambil model kampus-kampus terkenal dan hebat yang ada di Andalusia.
Begitulah sekilas sejarah kaum Muslimin terutama generasi awal perkembangan Islam yang telah menorehkan tinta mas dalam sejarah dunia dan para ahli Barat telah mengakui hal itu. Kejayaan masa lalu tidak cukup hanya disebut tetapi harus pula direbut kembali dengan menjadi generasi yang lebih kritis dan beradab dimasa modern dan serba canggih seperti saat ini.
Semoga artikel ini bermanfaat.
Sumber:
Hidayat, Naim. “Https://Hidayatullah.Com/Artikel/Tsaqafah/Read/2013/08/20/5942/Filsafat-Ilmu-Islam-vs-Barat.Html.” Hidayatullah.Com, n.d.
Soelaiman, Darwis A. Filsafat Ilmu Pengetahuan Perspektif Barat Dan Islam. Kec. Syiah Kuala, Kota Banda Aceh, Indonesia: Bandar Publishing, 2019.
Suaedi. Pengantar Filsafat Ilmu. Kota Bogor, Indonesia: IPB Press, 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H