Lihat ke Halaman Asli

Predictors Dims

Predicting by history

Leicester City, 'Reynard The Foxs' di Liga Primer Inggris

Diperbarui: 18 Desember 2015   00:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam cerita rakyat di Inggris, dikenal tokoh antropomorfism rubah dengan nama Reynard yang digambarkan sebagai trickster [1].  Karakter yang pintar, dan lihai, namun licik, serta suka menipu. Di Liga Primer Inggris, ada 1 klub yang mempunyai julukan ‘The Foxes’ (Si Rubah), yaitu Leicester City yang musim ini seperti ‘terinspirasi’ tokoh Reynard si Rubah.  Leicester City sementara ini (match 16) memimpin klasemen sementara Liga Primer Inggris, dan mencapai posisinya tersebut dengan kepintaran, dan kelihaian seperti Reynard si Rubah.

Pada musim ini, Leicester City memang memberikan ‘kejutan besar’ di Liga Primer Inggris.  The Foxes menempati peringkat 1 sementara sejak awal bulan Desember, walaupun dengan materi pemain yang tidak sehebat klub-klub lain di 4 besar, namun ada yang sedikit berbeda. Pada beberapa situs olahraga, Leicester City memang disebutkan menaklukan klub-klub besar untuk mencapai posisinya sementara ini, namun data yang ada justru tidak sesuai. 

Leicester City sampai saat ini belum menaklukan klub-klub besar yang sementara ini berada pada peringkat 6 besar. Satu-satunya klub besar yang baru ditaklukan Leicester City, adalah Chelsea yang saat ini terdampar di peringkat 16 klasemen sementara.  Sementara untuk klub-klub besar yang bercokol di peringkat 6 besar, Leicester City hanya berhasil menahan imbang 1-1 Manchester United dan Totenham Hotspur, serta kalah 2-5 dari Arsenal.  Apabila melihat dari segi peringkat, Leicester City memang sudah pernah menaklukan Crystal Palace yang sementara ini berada di peringkat 6, namun Crystal Palace hanyalah klub medioker seperti Leicester [2].

Kepintaran dan kelihaian apa saja sebenarnya yang telah ditunjukan oleh Leicester? ‘Kepintaran’ pertama, adalah dari data hasil pertandingan.  Leicester City menjadi satu-satunya klub di 4 besar, yang belum pernah takluk oleh klub-klub medioker yang peringkatnya bahkan di luar 10 besar.  Hal ini berbeda dengan ketiga klub lain di 4 besar, yang sudah pernah tergelincir oleh klub-klub yang peringkatnya di luar 10 besar.  Arsenal sempat ditaklukan West Bromwich Albions dan Chelsea, Manchester United oleh AFC Bournemouth dan Swansea City, serta Manchester City oleh Stoke City[3]. 

Leicester City mengumpulkan 35 poin sampai dengan pertengahan bulan Desember hanya dengan tidak pernah ‘tergelicir’ melawan klub-klub yang berada di luar 10 besar.  Satu-satunya kekalahan yang diderita Leicester City hanyalah melawan Arsenal yang juga berada pada posisi 4 besar (peringkat 2).  Leicester City dalam hal ini seperti mengoptimalkan hanya pada pertandingan-pertandingan dimana mereka berpeluang paling besar untuk menang.  Dari 10 kemenangan yang diraih The Foxes, hanya ada 1 kemenangan atas klub di posisi 6 besar yaitu melawan Crystal Palace. 

‘Kepintaran’ lain yang ditunjukan Leicester City adalah dari taktik permainan. Berdasarkan data, Leicester merupakan peringkat 3 klub dengan rata-rata ball possession terendah serta memiliki tingkat pass completion terburuk di Liga, namun menjadi peringkat 5 dalam jumlah tembakan serta peringkat 4 dalam shot on goal. Bagaimana hal ini bisa dimungkinkan? Leicester tidak melakukannya hanya dengan melambungkan bola dari belakang ke depan, namun Ranieri menekankan tim-nya untuk terus mendobrak garis pertahanan lawan serta menerapkan permainan pressing ketat bahkan dari lini depan[4]. Dengan taktik permainan tersebut, The Foxes menjadi tim terproduktif dengan 34 gol. Hal yang menarik adalah rata-rata jarak tembakan ke gawang yang dilakukan Leicester untuk mendapatkan gol-gol tersebut adalah pada jarak 17.4 yard (15.9 m).

James Vardy top skor Leicester City bahkan melakukan tembakan pada jarak rata-rata 14.6 yard (13.35 m).  Hal ini berarti The Foxes sering kali berhasil menembus pertahanan lawan sampai masuk ke kotak penalti untuk melakukan tembakan. Di posisi 4 besar, hanya Arsenal yang rata-rata jarak tembakannya ke gawang lebih dekat dibandingkan Leicester City. Namun Arsenal hanya mencetak 29 gol dari 16 pertandingan.  Leicester City dapat melakukannya, bukan hanya karena peran Vardy dan Mahrez, namun juga karena Danny Drinkwater yang diberi julukan “Xavi of Leicester”[5].  Drinkwater menjadi kunci permainan Leicester dengan pendistribusian passing-passing-nya untuk kemudian disempurnakan oleh Riyad Mahrez dan Mark Albrighton sebagai ancaman ke gawang lawan.

Bagaimana dengan pertahanan? Berdasarkan data statistik,  Leicester berada pada peringkat 7 tim yang paling banyak kebobolan di Liga Primer Inggris musim ini dengan 22 gol.  Kondisi tersebut memang tidak lepas dari lini pertahanan yang Leicester tidak terlalu memprioritaskan merebut bola dari lawan. 

Prioritas dari keempat bek Leicester hanyalah untuk bertahan pada posisinya dan melakukan blokade serangan dan tembakan ke arah gawang.  Upaya untuk interception sendiri dilakukan dari lini tengah dengan dipimpin oleh N’Golo Kante rekrutan Leicester dari Caen (Prancis).  Keahlian Kante dalam merusak permainan lawan inilah yang menjadi fondasi bagi Leicester City untuk memulai counter-attack

‘Kepintaran’ lain dari The Foxes selain dari taktik permainan, adalah dari proses perekrutan pemain. Proses scouting pemain dilakukan dengan sistem yang terkomputerisasi melalui software Wyscout. Prosesnya pun dilakukan dengan melakukan perbandingan data statistik antara pemain-pemain incaran dengan  pemain-pemain di klub. Proses akhir scouting dilakukan dengan menyaksikan langsung permainan dari pemain-pemain yang menjadi incaran, untuk kemudian dilaporkan ke Ranieri. 

Dengan proses perekrutan tersebut, Leicester City mendapatkan James Vardy, Riyad Mahrez, dan N’Golo Kante yang sebelumnya tidak terlalu familiar di telinga para pecinta sepak bola di Inggris.  Publik bahkan kemudian mengingat kembali nama Danny Drinkwater, yang merupakan pemain seangkatan Danny Welbeck di Timnas Inggris U-19 saat menjadi runner-up Piala Euro U-19 tahun 2009.  The Foxes bahkan tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk mendapatkan pemain-pemain incarannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline