Sebuah Fenomena
"Tahun 1965, ditangkap polisi karena dituduh PKI, '98 ditangkap karena dituduh aktivis anti Orba. Tahun 2017, ditangkap karena.......... ngebuat meme", kata Arma Dhani dalam sebuah guyonan di video Paguyuban Pamitnya Meeting.
Sebuah fenomena yang kini terjadi tentunya berbeda jauh dari beberapa kejadian masa lalu. Tidak hanya permasalahan politis, dalam tataran kehidupan sosial pun pergeseran itu sangat jelas terlihat. Perkembangan teknologi yang sedemikian pesat inilah yang menjadi salah satu faktor pengubah segala kebiasaan, perihal birokrasi atau bahkan sampai mengubah suatu tatanan sosial.
Segala kemudahan yang ditawarkan teknologi khususnya teknologi komunikasi dan informasi menciptakan kebebasan yang terkadang dirasa terlalu "kebablasan". Seperangkat UU ITE pun tidak akan mampu menghentikan laju penggunaan kecanggihan teknologi tersebut.
Buktinya hukum itu pun seakan tebang pilih dalam merespon segala ekspresi para kids zaman now. Jonru yang sehari-harinya menyebarkan ujaran kebencian bahkan tetap langgeng, berbeda dengan penyebar meme Setnov yang hanya dalam sekejap bisa tertangkap (meskipun sekarang sudah ada yang berupaya melaporkan Jonru).
Disini dapat kita lihat bahwa istilah kids bukan dalam konteks umur saja. Istilah kids zaman now yang ramai di khalayak netizen ini menurut saya adalah sebutan bagi setiap orang yang kini mengikuti beberapa trend yang kadang menjadi "unik" di masyarakat. Unik karena semua bisa berubah menjadi seorang kidsdalam merespon segala sesuatu, terlebih di dunia media sosial kini.
Salah satu keunikan yang menjadi kebiasaan bagi para kids zaman now adalah nyinyir. Nyinyir kini menjadi suatu kebiasaan bagi semua kalangan. Dari sekelas lulusan anak SMA, buzzer parpol, hingga para birokrat macam Fadli Zon semuanya melakukan nyinyir.
Nyinyir menjadi sebuah fenomena yang sangat menjadi-jadi kini. Dahulu bisa kita lihat seorang Soe Hok Gie merespon segala permasalahan yang ada di depan matanya (re: nyinyir) dengan menulis, ya menulis. Dimulai dari menulis catatan harian, menempel tulisan di mading-mading, hingga mungkin mengirim surat pembaca di koran. Bahkan Gie mungkin takkan mengira bahwa sekarang tulisan-tulisan catatan hariannya dibuat sebuah buku yang hingga kini telah beberapa kali naik cetak.
Tulisannya pun tidak sekedar sebuah ekspresi dari emosi sang penulis. Tidak hanya sekadar mengumpat-ngumpat mengekspresikan kekecewaan, nyinyiran para kids zaman now kini bahkan cenderung menuduh-nuduh tanpa fakta hingga terkesan menyebar fitnah. Belum jelas suatu berita atau informasi terverifikasi, namun dengan emosi sesaatnya mereka percayai, mereka pedomani, dan mereka sebar kesana kemari.
Hasil nyinyiran para kids zaman old pun telah membuktikan kesaktiannya. Mengapa bisa begitu? Bisa diambil contoh ketika nyinyiran-nyinyiran tersebut tidak hanya sekedar nyinyiran, mereka meng-aksi-kan nyinyiran tersebut hingga mampu mencetak reformasi. Dalam hal ini, bisa kita lihat bahwa ada satu hal yang hilang saat ini, yaitu implementasi usaha atau aksi nyata dari para reaksioner (re: penyinyir).
Dari fenomena tersebut, dapat kita lihat bahwa ada beberapa pergeseran suatu kebiasaan sederhana yang kali ini saya bahas yaitu dalam hal nyinyir. Nyinyir bagi kids zaman oldmemliki perbedaan dengan nyinyir para kids zaman now. Keduanya sama-sama merespon segala fenomena yang ada di depan mata, namun perbedaan yang mencolok tentu hasil nyinyiran para kids zaman olddulu membuahkan reaksi yang tepat. Di tengah keterbatasan yang ada mereka mampu mengumpulkan informasi akurat, menganalisa secara tajam dan membuahkan solusi-solusi bagi setiap permasalahan.