Lihat ke Halaman Asli

[Ramen] Berujung Harap

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa bulan terakhir ini kau lebih suka meninggalkan jam-jam kuliah. Duduk terpekur dijalanan gapura masuk kampusmu. Kampus kecil dikota kecil yang nyaris tak nampak dipeta. Bahkan jika temanmu datang dan bertanya pada penjual rujak dialun-alun kota tentang kampusmu, bakalan mendapat jawaban tak ada kampus dengan nama yang demikian unik. Uncabara. Alias Universitan cakra Abara. Kau tak tahu asal usul kampusmu itu, sejarah apa dan bagaimana. Yang kau tahu hanya berdiri pada 3 tahun yang lalu dan kamu adalahmahasiswa angkatan pertama.

Kau tak pernah mempermasalahkan hal semacam itu. Yang kamu permasalahkan adalah biaya pendidikan yang melangit. Dan Uncabara menawarkan hal yang sebaliknya. Yaknikemurahan untuk 100 pendaftar 100% gratis uang semester, dan beasiswa berupa tempat tinggal gratis untuk angkatan pertama. Kau masih ingat betapa bahagiamu saat kau mendapatkan amplop cokelat bergaris merah biru dipinggirnya. Apalgi ketika kau membukanya, sesuir hanya sesuir kertas yang tertuliskan UNCABARA. Tulisan tangan kawanmu yang tak rapi, nyaris tak dapat kau baca.

“kau harus kuliah Ranu, kalau mau punya istri cantik seperti Syahrini” tulisan kawanmu yang kau aja lamban. Usai membaca dan paham apa maknanya kau bersorak. Memeluk tiang tegak berdiri di ambang pintu rumahmu. Mencari emakmu yang baru kau temukan usai senja.

“mak aku akan kuliah, ini ada kertas dari Jala. Katanya aku harus kuliah”

“kuliah itu apa?sekolah to?SMA kan sudah tinggi?opo ada yang lebih tinggi lagi” emakmu heran.

“ada mak, kuliah namanya”

Itu emakmu dulu. Yang belum tahu apa-apa tentang dunia. Tapi emakmu yang sekarang kau tahu dia akan selalu bercerita pada tetangganya bahwa anaknya kuliah, sekolah tinggi sekali. Emakmu amat bangga denganmu. Tapi emakmu tak tahu jika anaknya kuliah dikampus kecil, namanya tidak terkenal, nyaris hilang bahkan tahun ajaran baru ini hanya mendapatkan 40 mahasiswa.

Kau lupa, dulu kau amat sangat mengejar agar kau dapat menbjadi 100 pendaftar pertama. Sampai kau bertengkar dengan guru SMA mu dikampung. Dua minggu kau menunggu ijazah dengan mengerutu. Dan minggu ketiga itu akhirnya kau bisa mendaftar di Uncabara. Seminggunya lagi kau bisa senang alang kepalang dalam pengumuman kau sebagai pendaftar diurutan ketiga. Kau diterima di Kampus, dalam urutan ketiga, juga masih masuk 100 pendaftar pertama. Namun tanpa terkejut sedikitpun, kau hanya menghela nafas saja, tahun ajaran ini hanya ada 80 mahasiswa yang mendaftar dan semuanya diterima. Tau begitu kau tak apa menjadi pendaftar terakhir.

Dan saat ini, kau hanya menjadi pendiam dikampus. Kau selalu mengatakan tidak kuliah pada kawanmu, kenalanmu, kau takut mereka tak ada yang kenal dengan kampusmu. Kalau tidak, kau suka ngaku kuliah dikampus elite belakang terminal, kampus keguruan yang sangat besar menurutmu. Awalnya kau ingin pindah kekampus lain tapi nyatanya biayanya sangat mahal dan kau urungkan saja keinginan semu itu. Lagi pula sama saja hasilnya menjadi sarjana.

Masalah Syahrini. Penyanyi yang menurutmu manusia paling cantik yang pernah kau lihat itu, pertama dan terakhir kau melihatnya digambar besar, baliho pinggir jalan. Dan saat itu juga kau langsung jatuh hati padanya. Lalu untuk saat ini yang membuatmu selalu memilih tertegun digapura kampusmu adalah Syahrini juga. Kau akan melihat beberapa perempuan berjalan dan kau akan suka membandingkannya dengan bintang pilihanmu itu.

“Ranu nanti kalau kau sudah ketemu Syahrini mu cerita padaku” surat kawanmu diluar kota.

Sampai sekarang surat itu tak pernah kau balas. Bahkan kau hampir melupakan untuk membalasnya. Tapi kau tak pernah lupa jika nanti setahun lagi kau adalah satu-satunya sarjana di Desamu. Bahkan emakmu ngomong nanti selesai wisuda pak lurah yang akan menjemputku. Seluruh masyarakat kampung pun akan mencalonkanmu menjadi Carik.

Sebenarnya kau tak pernah punya cita-cita tinggi, setinggi carik. Kau hanya ingin mempunyai cukup gaji bulanan. Setidaknya sisalah untuk mengajak emakmu jalan-jalan ke kota kabupaten. Menikmati Bis Trans Kota yang mulai tertata rapi. Namun titel kesarjnaan itulah yang membuatmu berat untuk tak bercita-cita, bahkan kau malu sebagai sarjana yang tak punya cita-cita.

Dan sekarang kau memutuskan untuk ingin dan amat ingin menjadi Bupati. Kau juga telah menulis hal besar itu sebagai cita-citamu, cita-cita calon sarjana. Kau ingin menjadi Bupati, istrimu cantik Seperti Syahrini, kau juga telah bergelar sarjana, dan itu akan membuat emakmu semakin sombong. Tapi tak masalah yang penting emakmu bahagia.

“jika nanti sudah wisuda kabari aku, biar aku carikan kerja di tempatku. Aku juga berharap kau bisa berperan sebgai sosok yang membanggakan desamu, walaupun tanpa harus menjadi Carik” surat Jala selanjutnya. Dia pasti tersenyum ketika menulis surat itu. Usai ceritamu tentang orang-orang kampung.

Dengan senyum pula kau menulis balasan dan membungkusnya dalam amplop air mail putih bergaris merah biru.

“ya Jala....maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok. Semoga aku bisa menjadi Bupati dan beristri secantik Syahrini” guraumu dalam surat itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline