Kamis 27 Oktober 2016 jadi hari sial bagi Jessica Kumala Wongso. Episode sidang yang panjang hingga 31 kali pun sia-sia baginya untuk dapat menghirup nikmatnya polusi udara Jakarta. Ia divonis 20 tahun penjara dengan tuduhan meracuni Wayan Mirna Salihin dengan sianida. Kejadian tersebut terjadi pada 6 Januari 2016, di mana Jessica, Mirna dan Hani bertemu untuk reuni di kafe Olivier.
Jessica yang datang lebih dahulu kemudian memesan Vietnam Ice Coffe yang mana minuman tersebut adalah pesanan Mirna lewat grup Whatsapp. Mirna yang datang bersama Hani kemudian meminum VIC yang telah dipesan Jessica. Mirna menilai VIC tersebut rasanya aneh dan disusul beberapa menit kemudian kejang-kejang.
Sidang pembuktian yang dimulai sejak Juni 2016 hingga pertengahan Oktober 2016 banyak memunculkan pertanyaan baru. Mulai dari kronologi yang berbeda-beda, kontroversi ada atau tidaknya racun sianida, hingga penelusuran motif.
Sepanjang perjalanan yang telah ditempuh nyatanya sidang bukan berusaha menguak sebab kematian Mirna yang sebenarnya, tetapi justru jadi arena dagelan. Fokus pada motif pembunuhan, saksi-saksi yang dihadirkan untuk memberatkan Jessica justru bukan terkait kasus pembunuhan yang terjadi. Tetapi masalalu dari Jessica. Berbicara mengenai masalalu, siapa sih orang yang tidak mempunyai masalalu yang kelam? Bukankah wajar jika masalalu ditinggalkan guna mendapat hidup baru yang layak? Apalagi mengenai sakit hati. Dalam pembacaan vonis, majelis hakim menyebut motif Jessica membunuh Mirna karena sakit hati akan perkataan Mirna terkait mantan pacar Jessica. Hal tersebut berdasarkan keterangan dari saksi AS yang juga merupakan suami korban. LUCU!
Bagaimana bisa keterangan dari saksi, yang secara bukti rekaman tidak ada, justru jadi pegangan untuk menjerat Jessica?
Selain itu tuduhan akan sianida yang dicampur dalam VIC yang diminum Mirna belum terbukti secara detail. Bahkan otopsi menyeluruh pun tidak dilakukan karena keluarga yang tidak setuju. Tetapi pihak keluarga menuntut hukuman yang lebih berat daripada 20 tahun. Sehat?
Akibat dari vonis ini bagi penulis ditakutkan akan berdampak pada kewaspadaan masyarakat jika ingin bepergian bersama teman untuk nongkrong cantik. Penulis khawatir jika terjadi ‘sesuatu’ terhadap teman sewaktu nongkrong, orang-orang disekitarnya bakal dituduh sebagai pelaku. Apalagi jika vonis dijatuhkan dari majelis hakim yang bermodalkan LOGIKA PRAKTIS.
Bisa jadi vonis yang telah dijatuhkan terhadap Jessica dapat berdampak pada menurunnya interaksi langsung antar teman. Anak-anak muda tidak mau kumpul bareng dan memilih berinteraksi lewat gadget. Tidak ada lagi acara nongkrong cantik, makan bareng, traktiran, apalagi kerja kelompok. Kalau sudah begini, tahu kan sumber masalahnya APA dan SIAPA?
Kualitas hakim kasus ini masih menjadi pertanyaan di benak banyak pihak. Bukti-bukti yang lemah dipaksakan untuk menjerat Jessica merasakan bui 20 tahun. Mungkinkah mereka dan jaksa-jaksa ganteng MALU MENGAKUI bahwa JESSICA sebagai KORBAN SALAH TANGKAP??
Banyak pihak bertanya “mengapa sidang selalu disiarkan secara live?”
Jawabannya adalah jurnalisme advokasi. Mengawal seseorang yang tertuduh agar mendapat keadilan. Semoga pembaca paham yang dimaksud penulis.