Lihat ke Halaman Asli

Bunuh Diri dan Pertanyaan Keberadaan Diri

Diperbarui: 27 Juli 2019   19:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Di dalam tulisan kali ini, saya sudah sejak lama tidak menyetujui kebenaranya. Bahkan untuk eksistensinya, di celah sunyi dalam irama berfikir ada gambaran yang merambat dengan indah mengisi, yang seakan membawa kita dalam penyelesaian tanpa harus melewati kembali jalanan yang sakit, oleh apa yang disebut, Bunuh Diri. 

Mindstream masyarakat, meletakkan Bunuh Diri sebagai fenomena sosial. Keadaan destruktif yang tak berkesudahaan. Jalinan interaksi sosial yang kacau, dorongan kejiwaan yang menekan segalah batas normalitas, jalur perekonomian yang tersendat dalam perselisihan keinginan dan kebutuhan. 

Bukan kita tidak mengerti segalah jawaban atas pertanyaan apa yang dipampangkan hidup, atau bukan kita tidak mempertanyakan atas segalah jawaban apa yang di pampangkan hidup. Tapi itu semua telah selesai dalam pemahaman kita bagi orang lain, pemahaman orang lain untuk kita. Hanya saja semua memiliki rotasi yang tak berkesudahan, tidak ada yang berada dalam ketetapan. 

Apakah kita tidak bisa menerima sesuatu yang tak berkesudahan? Tentuh tidak. Kecuali oleh kamatian. Kita seperti Tantalus, yang dikutuk karena kekekalan untuk berdiri di genangan air di bawah buah yang menggantung yang surut setiap kali dia meraihnya.

Interaksi manusia dengan kehidupan mematik  adanya pengalaman. Sesekali pengalaman akan terdorong oleh kesadaran, terutama pengalaman yang dirasa mengganggu, yang seketika akan membuat manusia berubah menjadi seperti apa yang dihadirkan kembali dalam pengalamanya. Seringkali kondisi terisolasi ini menimbulkan kecemasan dan perasaan teralienasi dan mempertanyakan kembali apa sebenarnya hakekat keberadaan manusia.

Kebenaran keberadaan manusia sudah sejak lama diperbincangkan. Bahkan di era keheningan mitos, agama yang mengagungkan keilahian nalar. Sampai di era keemasan pemikiran manusia yang mengunggulkan rasionalitas dalam keberadaan dirinya dan alam semesta. Namun, gerak manusia selalu terjebak dalam pengalaman dan tidak ada kapasitas kebenaran absolut atau makna yang transenden.

Albert Camus mengatakan didalam Myth of Sisyphus and Other Essays, bahwa "Manusia berdiri berhadap-hadapan dengan yang tidak rasional. Dia merasakan dalam dirinya kerinduannya akan kebahagiaan. Yang absurd lahir dari konfrontasi antara kebutuhan manusia dan keheningan dunia yang tidak masuk akal. "

Jika memakai istilah Albert Camus tentang absurditas. Bukan alam semesta yang tidak masuk akal, tetapi hubungan antara keberadaan manusia dan kesadaran absurdnya dengan alam semesta. Bahkan, kehadiran kesadaran absurd tergantung pada manusia seperti manusia yang tergantung pada dunia.

Ada dua strategi untuk menghadapi kesadaran absurd ini, didalam Mitos Sisyphus and Other Essays, Camus mengemukakan "bunuh diri fisik dan bunuh diri filosofis".

Bunuh diri secara fisik, tentuh sudah tidak asing bagi kita, seperti halnya para militer jepang yang melakukan harakiri, menancapkan dinginnya sebilah mata samurai pada bagian perut, didalam kondisi yang tidak memungkinkan lagi bagi mereka untuk hidup. Sementara itu, bunuh diri secara filosofis adalah pelarian diri dari kesadaran Absurd pada iman dan harapan,  Meskipun tidak ada bukti, orang-orang seperti itu mengadopsi keyakinan bahwa di luar keberadaan duniawi ini terdapat harmoni, nirwana, makna, atau Tuhan yang absolut.

Lantas, apakah dua strategi untuk menghadapi kondisi absurd ini berhasil?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline