Lihat ke Halaman Asli

Sakit, Mbah!

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

“Diam, jangan menangis lagi!”

“Tapi, aku takut mas. Aku takut…”

“Sudah, jangan menangis lagi. Semua sudah terjadi. Sekarang lekas pakai bajumu lagi.”

“Mas… Kamu harus bertanggung jawab.”

“Sudahlah, jangan banyak lagi bicara. Aku harus mengantarkanmu pulang.”

Bulan kini sudah muncul. Lampu-lampu jalan juga sudah menyala. Terlihat sepasang pemuda-pemudi melintas dengan kencang dengan sepeda motor bebek 4-taknya. Si pemudi memeluk erat seakan tak ingin melepas si pemuda yang memboncengnya. Bila dilihat dengan seksama, mata si pemudi terlihat sembab. Matanya masih basah, wajahnya pucat. Sedangkan wajah si pemuda terlihat seperti seekor singa yang telah memakan habis daging kelinci 1 ekor. Lelah tapi puas.

***

Tiga bulan kemudian…

“Mas, orang tuaku sudah tahu semua. Aku tak bisa menyembunyikan lagi. Kamu harus datang kerumah!”

“Kerumah! Menemui orang tua mu! Ck... ckck…”

“Iya mas. Janjimu… janjimu… sesuai kata-katamu dulu sebelum aku akhirnya terlena.”

“Janji itu hanya sampai dibibir saja. Tak sudi aku bertanggung jawab. Beban itu sangat berat!”

“Mas, tapi kamu harus…” ucapan itu terhenti karena sebuah tamparan keras dipipinya yang kian terlihat tirus. Sambil menahan sakit, pemudi itu nekad berucap dengan lantang “POKOKNYA KAMU HARUS KERUMAH, TITIK!”

Mendengar suara yang keras, pemuda itu naik pitam. Ditendang perut si pemudi tanpa iba. Setelah puas memukul dan menendang, pemuda itu pergi dengan memacu sepeda motornya dengan suara knalpot yang digeber-geber. Hilang tak kembali.

Si pemudi menangis kesakitan. Kesakitan fisiknya bisa dia tahan, tapi… hatinya benar-benar luka.

***

Disebuah gubuk tua, jauh dari kota. Yang disekililingnya hanya ada tanaman jagung yang mendekati masa panennya. Terdengar erangan seorang wanita.

“Tarik napas, hembuskan… tarik napas, hembuskan…”

“Aduh, mbah… sakit mbah! SAKIT!”

“Sabar cu… Sabar… sebentar lagi… sebentar lagi…”

“Mbah, perih! Perih… Aaakh…”

“Cu… bayinya sudah keluar. Bayinya…”Mbah kemudian menghentikan kalimatnya ketika melihat si pemudi tadi yang kini telah menjadi wanita diam tak bergerak. “Bayinya… sela… mat… laki-la… ki…” Mbah berkata lirih terbata-bata.

Bayi itu menangis kencang. Wajahnya terlihat tampan dan sangat mirip sekali dengan ibunya. Tangisan bayi itu memecah kesunyian kebun jagung tersebut. Tangisan itu seolah-olah ingin membangunkan ibunya. Tapi tangis tinggallah tangis. Bayi itu sudah menjadi yatim. Tak beribu dengan ayah yang kabur dari perannya.

***

Dua hari kemudian…

“Mbah, ini uangnya dua juta. Silahkan diambil.”

“Iya makasih ya Bu. Tolong dirawat bayinya dengan baik ya Bu. Saya mohon...”

“Tenang saja Mbah. Bayinya saya jamin akan dirawat dengan baik.”

“Iya syukurlah…”

Mbah lalu diam dan memperhatikan. Dilihatnya bayi tersebut digendong oleh ibu tadi masuk kedalam mobil. Dari pintu mobil yang terbuka, terlihat seorang wanita asing dengan rambut pirangnya meraih bayi yang tadi digendong.

“Okay, this your money. 500 dollars.”

“Thanks, mam. If you need me at anytime, you can call me again”, ucap ibu tadi sambil menghitung uang dolar digenggamnya.

“Yup!”

Wanita asing itu pergi dengan bayi yang digendongnya. Bayi itu terlihat sangat lelap dalam tidurnya. Mobil itu pergi menjauh, kembali ke kota. Disana sudah siap sebuah pesawat yang akan membawa pergi jauh ke sebuah negeri asing.

***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline