Lihat ke Halaman Asli

Dimas Setyowibowo

saya adalah seorang saja

Jugun Lanfu: Sekedar Pemuas Nafsu Dai Nippon

Diperbarui: 23 September 2021   13:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kekerasan terhadap perempuan dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia seperti bagian yang tidak bisa dipisahkan. Perempuan diperbudak dan dijadikan target sasaran dalam situasi yang amat mengerikan tanpa mereka pernah ketahui. Perempuan sudah lama ditempatkan sebagai objek dalam konflik bersenjata, perebutan kekuasaan, ataupun agresi. mekanisme dengan cara paksa menyediakan perempuan-perempuan sebagai sarana praktek seksual untuk para tentara Jepang di semua wilayah pendudukan Jepang di Indonesia. 

Kekaisaran Jepang menamai perempuan-perempuan dalam sistem ini dengan sebutan Jugun Ianfu. Dalam menjalankan sistem Jugun Ianfu, terdapat kebijakan dalam pengelolaan hiburan dalam ketentaraan, yang diatur oleh Pusat Komando Tentara, Kerajaan Jepang juga mengetahui hal tersebut. Hiburan seksual juga diatur secara terpusat, terutama bila tentaranya sudah berada di barak-barak dan memerlukan wanita sebagai hiburan. Pada saat Jepang masuk ke pulau Jawa, mereka memerlukan wanita-wanita yang bisa dipakai untuk hiburan.

Kedatangan bala tentara Jepang sempat disambut baik rakyat Indonesia yang memimpikan kemerdekaan dari kolonialisme Belanda. Namun, impian tersebut tidak pernah terwujud, justru tentara Jepang memaksa rakyat Indonesia untuk mendukung mereka guna memenangkan perang di Asia Pasifik. Dukungan yang dipaksakan tersebut antara lain berupa logistik dan tenaga manusia untuk Pemerintah Militer Jepang mengumumkan tentang Jugun Ianfu. Mereka memaksa para perempuan untuk bersedia ikut dalam program pengerahan tenaga kerja. Mereka merayu para perempuan dengan iming-iming akan diberikan pekerjaan yang layak. 

Salah satu yang paling menyakitkan dari semua dampak fisik mereka dapatkan adalah bahwa mereka tidak bisa lagi untuk memiliki keturunan. Tentu saja ini sangat menyakitkan bagi mantan Jugun Ianfu. Selain dampak fisik yang diderita Jugun Ianfu seperti cacat tubuh, gangguan fisik, dan tidak mempunyai anak, merek juga merasakan dampak psikologis dan trauma mendalam pada diri setiap korban Jugun Ianfu. Tentara dan sipil Jepang yang memperlakukan Jugun Ianfu ini dengan cara yang kasar dan tidak manusiawi menyebabkan luka yang membekas. Perlakuan mereka terhadap Jugun Ianfu sudah tidak dianggap lagi sebagai manusia. Mereka memperlakukannya seperti benda mati. Perempuan hanya dijadikan sebagai objek bagi Jepang, hanya sekedar pelampiasan bagi mereka tanpa memikirkan kondisi fisik dan psikologis perempuannya. Seharusnya perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Mereka semestinya diperlakukan sebagai subjek yaitu manusia yang sederajat dengannya bukan menjadikannya sebagai objek atau bahkan lebih rendah kedudukannya.

Para jugun ianfu dieksploitasi baik secara fisik maupun psikologis. Setiap jugun ianfu dipaksa untuk melayani 10-20 tentara Jepang setiap harinya. Tubuh mereka dijadikan sebagai objek seks. Selain itu, mereka juga akan mengalami kekerasan fisik selama melayani para tentara dan sipil Jepang. Hal ini menyebabkan beberapa jugun ianfu menderita luka-luka pada tubuh mereka. Penderitaan yang dialami para jugun ianfu akan semakin berat jika mereka kedapatan hamil dimana dokter akan menyuruh untuk menggugurkan kandungan mereka. Akibat penderitaan tersebut, banyak jugun ianfu yang mengalami kematian.Kematian yang dialami oleh para jugun ianfu terjadi karena kekerasan fisik yang menimpa mereka. Selain karena kekerasan fisik, sebuah laporan juga menuliskan bahwa kematian yang terjadi dalam jumlah relatif besar yakni berupa tindakan bunuh diri akibat penderitaan psikologis. 

Namun sayangnya, keadilan dalam artian kesetaraan dan kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan dalam memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan belum dapat terwujud secara sempurna dan universal. Indikator dalam kesetaraan gender yang ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam hal akses, kesempatan berpartisipasi, dan memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan masih sulit tercapai. Terutama apabila dikaitkan dengan keadilan gender yang merupakan suatu proses dalam mendapatkan perlakuan adil bagi laki-laki dan perempuan. 

Dan berbagai macam usaha, Pemerintah Jepang pun meminta maaf kepada negara yang pernah diduduki pada saat Perang Dunia Kedua. Kaisar Akihito, pun menyampaikan permintaan maaf atas kesalahan pada masa lalu atas negaranya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline