Lihat ke Halaman Asli

Dead on Arrival

Diperbarui: 4 April 2017   16:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Beberapa waktu lalu di jejaring sosial banyak beredar tentang himbauan dari ahli hukum supaya para dokter di emergensi tidak menolong pasien yang datang tanpa tanda kehidupan. Salah satu pencetus kejadian ini adalah peristiwa tragis meninggalnya Mirna karena diracuni di sebuah kafe di Jakarta. Singkat cerita, dokter yang berupaya menolong dapat dijerat hukum, sehingga sebaiknya lain kali tidak perlu ditolong langsung saja dinyatakan sebagai dead on arrival (DoA).

Sekarang coba pikirkan, bila orang yang kita sayangi, kita cintai, 5 menit sebelum sampai di IGD mendadak tidak sadar, tidak bernapas. Sebenarnya terjadi suatu sudden cardiac arrest, yang apabila dilakukan rekam jantung (EKG) akan tampak gambaran fibrilasi ventrikel (VF) yang masih dapat diresutasi dan jika dilakukan dengan cepat dan benar masih memiliki harapan hidup. Namun, akibat dari himbauan yang beredar ini, di mana secara spesifik mengkritik perilaku dokter IGD yang melakukan EKG, ternyata orang yang kita sayangi tidak tertolong karena dokter jaga langsung menyatakan DoA.

Ilustrasi lainnya, pasien datang tidak bernapas, kemudian pupil tampak midriasis (melebar) maksimal, langsung dinyatakan DoA tanpa EKG. Padahal pasien ini dengan overdosis amfetamin atau kokain yang menyebabkan pupil midriasis, walaupun aktivitas listrik jantung masih ada. Lagi-lagi satu nyawa melayang.

Dalam keseharian, kita seringkali terpajan dengan budaya "pop culture" dari film, sinetron, atau bahkan novel yang bercerita tentang tragisnya suatu kematian. Pada berbagai fiksi tersebut, diilustrasikan bahwa sebelum kematian datang, umumnya sang tokoh tampak lemah namun masih bisa meninggalkan pesan terakhir (dalam istilah kedokteran masih compos mentis, GCS E4M6V5), kemudian barulah menghembuskan nafas terakhir.  Apabila meninggalnya di rumah sakit, hembusan napas terakhir akan diikuti dengan gambaran EKG monitor yang asystole (flat/datar).

Padahal, dalam kehidupan nyata sangat jarang dapat kita temukan "gambaran klasik" kematian seperti pada cerita fiksi.  Selama pengalaman saya yang terbatas sebagai dokter, dalam empat tahun terakhir saya belum pernah menemukan kondisi seperti dalam cerita di atas.  Proses menuju kematian, khususnya pada kasus penyakit dalam (non trauma), umumnya bisa diprediksi.  Seseorang mengalami gangguan perfusi (aliran darah) ke seluruh organ tubuh, dan terakhir yang dipertahankan adalah otak.  Jika aliran darah ke otak berkurang, akan terjadi penurunan kesadaran, ditandai dengan bicara meracau, sulit dibangunkan, hingga tidak merespon sama sekali.  Kemudian akan terjadi gangguan irama pernapasan, yang akan mengakibatkan henti napas.  

Walaupun sudah tidak bernapas, irama jantung akan tetap ada selama beberapa menit, bahkan masih disertai denyut jantung yang dapat diraba melalui perabaan pada pembuluh darah besar seperti arteri karotis.  Setelahnya, denyut semakin lemah sehingga tidak teraba.  Namun, aktivitas listrik jantung masih ada, atau disebut sebagai pulseless electrical activity (PEA).  Pada keadaan ini, walaupun jantung tidak memompa darah, aktivitas listrik yang berasal dari sel-sel pacu jantung masih aktif.  Pada akhirnya, seiring dengan ketiadaan oksigen karena tidak bernapas dan ketiadaan aliran darah karena jantung tidak berdenyut, tidak ada bahan untuk membuat aktivitas listrik sehingga jantung akan berhenti total, dan tampak gambaran datar pada EKG.

Namun, perlu diingat bahwa proses menuju kematian tersebut dapat terjadi karena penyebab yang dapat diintervensi maupun tidak.  Pada sebagian kecil kasus, pencetus dapat diatasi seperti kekurangan cairan, kekurangan oksigen, kelebihan asam, gangguan kalium, kedinginan, udara di rongga pleura, cairan di pembungkus jantung, keracunan, atau penyumbatan pembuluh darah jantung atau paru.  Pada kondisi-kondisi di atas, walaupun sangat sulit, terkadang intervensi yang dilakukan dapat mengembalikan nyawa orang yang kita kasihi.  

Bahkan, terdapat kemungkinan kecil seseorang yang sudah EKGnya datar dapat hidup kembali apabila penyebabnya simpel dan bisa diatasi cepat sebelum terjadi kerusakan permanen pada otak dan jantung.  Terlepas dari semua itu, nyawa ada di tangan Tuhan YME.  Namun, sebagai tenaga medis adalah kewajban moral untuk mengupayakan yang terbaik demi pasien dan keluarga.

Jadi, menurut saya pribadi, sangat sulit untuk membuat diagnosis Dead on Arrival. Bagi saya pribadi, DoA adalah vonis.  Sebuah kabar buruk bagi keluarga bahwa orang yang mereka cintai sudah pasti- ya, sudah pasti- meninggalkan mereka untuk selamanya.  Padahal, melihat uraian di atas, pada detik-detik akhir kematian seseorang dapat tampak sudah meninggal walaupun apabila diperiksa lebih lanjut masih ada tanda kehidupan.  Apa artinya? Dalam keseharian saya pribadi seringnya tidak mampu untuk mendiagnosis kematian dalam pandangan pertama tanpa melakukan tindakan diagnostik atau terapeutik lebih dulu.

Ternyata, masalah ini juga ditemukan di seluruh dunia.  Organisasi ahli jantung American College of Cardiology/American Heart Association (AHA/ACC) pada tahun 2015 mengeluarkan versi terbaru panduan resusitasi.  Terdapat poin yang sangat sesuai dengan kondisi di atas, yang berbunyi,"Conditions such as irreversible brain damage or brain death cannot be reliably assessed or predicted at the time of cardiac arrest. Withholding resuscitation and the discontinuation of life-sustaining treatment DURING or AFTER resuscitation are ethically equivalent. In situations where the PROGNOSIS IS UNCERTAIN, a TRIAL OF TREATMENT MAY BE INITIATED while further information is gathered to help determine the likelihood of survival, the patient’s preferences, and the expected clinical course. (Class IIb, LOE C)"  

Dapat dilihat bahwa memang benar kita tidak dapat menentukan seseorang meninggal atau tidak pada saat datang.  Perlu dilakukan metode diagnosis lebih lanjut.  Namun, menunda melakukan resusitasi karena tindakan diagnosis akan menurunkan kemungkinan selamatnya korban naas tersebut. Oleh karena itu, direkomendasikan untuk menolong terlebih dahulu, sambil menentukan apakah sebenarnya sang korban masih dapat tertolong atau tidak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline