Telah banyak terjadi kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang ironisnya hal tersebut terjadi di lingkungan pendidikan seperti sekolah, kampus, bahkan pondok pesantren yang seharusnya menjadi tempat untuk menimba ilmu dan menjadi lingkungan aman bagi mereka dari predator seksual.
Entah apa yang terbesit dibenak para pendidik hingga tega melakukan pelecehan kepada muridnya sendiri. Para petinggi pendidikan seperti guru, dosen, staf dan lain-lain yang seharusnya menjadi contoh bagi muridnya justru malah tega melakukan hal tak senonoh kepada muridnya.
Adanya relasi kuasa menjadi salah satu faktor penyebab pelecehan dan kekerasan seksual mudah terjadi di lingkungan pendidikan. Kekuasaan pelaku akhirnya membuat korban tak berdaya dan enggan untuk melaporkan kejadian yang menimpa dirinya.
Pelecehan seksual merupakan suatu tindakan seksual yang tidak diinginkan oleh korban atau dilakukan tanpa persetujuan, seperti menyentuh atau meraba bagian tubuh seseorang. Sementara, kekerasan seksual adalah melakukan pemerkosaan atau percobaan pemerkosaan, kemudian penganiayan secara seksual terhadap korban.
Masih melekat dalam ingatan kita tentang kasus pemerkosaan 13 orang santriwati yang dilakukan oleh pemilik pondok pesantren di kota Bandung. Pada bulan Mei 2021 Polda Jawa Barat menerima laporan kasus pemerkosaan oleh Herry Wirawan pemilik pondok pesantren Rumah Tahfidz Madani yang berada di desa Cibiru, Kota Bandung Jawa Barat. Ketika awal diterima kasus ini tak langsung terekspos di media dengan pertimbangan dampak psikologis dan sosial dari para korban kebejatan Herry Wirawan.
Kasusnya pertama kali muncul ke publik pada 8 Desember 2021. Ketika itu telah dilakukan beberapa kali sidang dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi korban. Sidang dipimpin ketua majelis hakim Yohanes Purnomo Surya secara tertutup.
Berdasarkan dakwaan, aksi itu dilakukan oleh Herry Wirawan pada rentang waktu 2016 hingga 2021. Akibat dari aksi bejatnya tersebut beberapa santriwati hamil dan melahirkan anak. Lalu apa yang membuat para korban selama kurang lebih lima tahun lamanya memilih untuk bungkam atas apa yang mereka alami, Ternyata selama melancarkan aksi bejatnya, Herry Wirawan kerap menghasut, merayu, hingga mengancam korban. Ada korban yang diancam untuk menurut perintah guru, sebagian dijanjikan akan dinikahi, dan anak yang lahir akan dibiayai hingga tingkat perkuliahan, hingga dijanjikan menjadi polwan.
Meski para korban menolak dan menangis, namun Herry Wirawan tetap tega memperkosa mereka. "Jangan takut gitu, enggak ada seorang ayah yang tega menghancurkan masa depan anaknya", ucap Herry Wirawan yang tertuang dalam dakwaan jaksa berdasarkan keterangan korban.
Berbagai bujuk rayu dilakukan oleh Herry Wirawan agar para korbannya bungkam dan terus patuh untuk melayani nafsu binatangnya, ia juga meminta kepada para korban yang hamil akibat perbuatan bejatnya untuk tetap melahirkan bayinya dengan janji akan merawatnya hingga dewasa. Namun bayi-bayi malang tersebut setelah lahir justru digunakan oleh Herry Wirawan untuk meminta sumbangan anak yatim piatu ke para dermawan.
Sungguh sangat menggeramkan apa yang telah dilakukan oleh Herry Wirawan, selain memperkosa belasan santriwati hingga beberapa diantaranya hamil dan melahirkan bayi yang tak berdosa, ia juga tega melakukan eksploitasi pada bayi-bayi tersebut demi mendapat keuntungan pribadi.
Maka pantaslah Hakim pengadilan tinggi bandung menjatuhkan hukuman mati terhadap Herry Wirawan, namun putusan tersebut telah melalui beberapa proses hukum hingga akhirnya sampai pada Pengadilan Tinggi Bandung setelah Penuntut Umum mengajukan upaya banding atas putusan Pengadilan Negeri Bandung.