Lihat ke Halaman Asli

Indonesia dalam Cita-cita

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Disclaimer : Tulisan ini hanyalah opini semata yang penulis dapatkan dari hasil menelaah, membaca dan merenung, tidak ada maksud untuk memojokan pihak tertentu atau oknum tertentu maupun bentuk pesimisme terhadap system kenegaraan yang ada di Indonesia dalam kaitannya dengan artikel ini.

Indonesia apabila dipersonifikasikan boleh dikatakan sedang dalam keadaan yang sakit, kanker dimana-mana, banyak penyakit yang tidak kunjung sembuh, tidak hidup namun enggan juga mati. Penyakit tersebut dimanifestasikan dalam bentuk kebobrokan sistem hukum, korupsi, ketiadaan moral, kemunafikan dan masih banyak lagi.

Adalah menarik ketika penulis mulai berfikir mengenai apa yang seyogyanya dilakukan untuk menyembuhkan bangsa ini dan dapat menghadapi segala tantangan dan hambatan baik yang berasal dari intern maupun ekstern. Pertama-tama yang penulis lakukan adalah mengenali dan mencari jati diri siapa sebenarnya Indonesia itu dan apabila boleh meminjam kalimat Ki Ageng Suryomentaram untuk mengenali sesuatu kita menggunakan kata Apa, Bagaimana dan Apa Fungsinya.

Indonesia, lahir pada tanggal 17 Agustus 1945 melalui Proklamasi yang dilakukan oleh Ir. Soekarno dan Bung Hatta, perlu diketahui juga sebelum hari kemerdekaan tersebut Indonesia adalah belum eksis dan masing-masing daerah mempunyai namanya sendiri-sendiri. Wacana penyatuan wilayah kepulauan jajahan Belanda ini diusung oleh Ki Hajar Dewantara dan kemudian diikuti oleh Ir. Soekarno dengan gagasan "NUSANTARA". Penggunaan kata Nusantara diperkenalkan oleh Patih Gadjah Mada dalam sumpah palapanya yang berbunyi : " Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukita palapa, sira Gajah Mada : Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.

Terjemahannya adalah: "Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan pulau-pulau lain, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".

Sumpah tersebut mengindikasikan bahwa dalam mengusung wawasan NUSANTARA tersebut sang patih dan raja majapahit saat itu (yang menganggap dirinya setengah dewa) ingin menyatukan daerah-daerah (red: Indonesia) yaitu dilatarbelakangi oleh rasa "KEKUASAAN" dan "KEHORMATAN", dimana tentu dalam memenuhi dahaga kekuasaan tersebut banyak nyawa yang harus dibunuh, raja-raja daerah yang kalah beserta rakyatnya diperbudak dan disiksa, yang tentu rasa "KEADILAN" tidak diperhitungkan.

Menurut penulis transplantasi suatu gagasan tanpa mengetahui makna yang terkandung didalamnya adalah naïf, Indonesia yang diberikan embel-embel nusantara, bhineka tunggal ika adalah bentuk pemaksaan terhadap ideal-ideal masyarakat tertentu yang dipersatukan dengan cara yang politis dan diplomatis. Yang katanya berdasarkan semangat nasionalis, semangat persatuan namun percuma apabila yang dibagi-bagikan adalah ketidak adilan dan ketidakmerataan. Mungkin semangat persatuan tersebut lebih dapat penulis terima apabila sang penguasa dapat mengesampingkan rasa-rasa duniawinya tadi (kehormatan/kekuasaan/harta benda), namun pertanyaannya adalah tentu "Siapa".

Sebagai manusia tentu tidak ada salahnya untuk menggagas, mencita-citakan sesuatu yang didambakan, dan tentu semua makhluk yang diberi label "manusia" tersebut tidak peduli dari mana asalnya, apa kulitnya, apa agamanya bebas untuk menggagas perasaannya sendiri. Termasuk penulis sendiri, penulis mengidamkan bahwa tidak seharusnya Indonesia dipaksakan dalam suatu kerangka yang dibalut dengan kata-kata indah nusantara tersebut, biarkan masyarakat setempat memimpin daerahnya sendiri, rakyat aceh memimpin aceh, rakyat papua memimpin papua, rakyat borneo memimpin borneo, rakyat jawa memimpin jawa, dan seterusnya yang mungkin dapat dimanifestasikan dalam bentuk pemerintahan federal, yang tentunya selain memberikan akses dan fasilitas penuh terhadap pemerintah daerah masing-masing untuk mengawasi, melaksanakan dan mendistribusikan "Keadilan" akan lebih tepat sasaran daripada menggantungkan segala sesuatunya kepada Pemerintah Pusat, hanya urusan moneter dan hubungan luar negerilah yang menjadi wewenang pemerintah pusat.

Pemikiran bodohnya, biarkan daerah yang mempunyai sumber daya alam melimpah memanfaatkan sumber daya tersebut untuk kemakmuran daerahnya, bukan untuk disedot habis pemerintah pusat yang kemudian didistribusikan ke daerah-daerah yang miskin sumber daya alam melalui kereta "otonomi daerah". Biarkan daerah yang miskin sumber daya alam memikirkan bagaimana caranya untuk memakmurkan daerahnya dengan caranya sendiri, alternative misalnya dengan memajukan sector pariwisata dan hiburan dimana masyarakat2 daerah lain yang kaya akan sumber daya alam akan datang berbondong-bondong untuk alasan rekreasi dan masih banyak alternatif lain yang dapat dilakukan. Secara tidak langsung juga mendidik masyarakat untuk berfikir dan bekerja, bukan hanya menjual Tanah atau sapi untuk memasukan anak-anaknya menjadi Pegawai Negeri Sipil/Polri yang bisa mendapatkan uang hanya dengan ongkang-ongkang.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline