Marhaenisme, ideologi yang diperkenalkan oleh Soekarno, menekankan perjuangan kaum marhaen---petani kecil, buruh, dan rakyat jelata---dalam melawan penindasan dan ketidakadilan sosial. Dalam konteks Indonesia modern, prinsip-prinsip Marhaenisme tetap relevan, terutama terkait isu kesejahteraan buruh.
Baru-baru ini, pemerintah mengumumkan kenaikan upah minimum nasional sebesar 6,5% untuk tahun 2025. Keputusan ini menuai beragam respons dari berbagai kalangan, termasuk serikat buruh dan pengusaha.
Pandangan Serikat Buruh
Beberapa serikat buruh, seperti Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) dan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), menilai kenaikan ini tidak signifikan. Mereka berpendapat bahwa kenaikan 6,5% tidak sebanding dengan peningkatan biaya hidup dan berbagai kebijakan lain yang membebani pekerja, seperti kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, kenaikan iuran BPJS Kesehatan, dan pembatasan subsidi BBM.
Jumisih, Ketua FSBPI, menyatakan bahwa kenaikan ini jauh dari harapan mereka dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup buruh dan keluarganya. Senada dengan itu, Elly Rosita, Presiden KSBSI, menekankan bahwa kenaikan upah minimum tidak berarti jika pemerintah tetap memberlakukan kebijakan yang membebani kelas pekerja.
Pandangan Pengusaha
Di sisi lain, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengkhawatirkan dampak kenaikan upah terhadap biaya produksi dan daya saing produk Indonesia. Mereka meminta pemerintah menjelaskan dasar penetapan kenaikan upah minimum sebesar 6,5% dan mempertimbangkan kondisi ekonomi yang dihadapi dunia usaha.
Analisis Ekonomi
Pengamat ekonomi dari Celios, berpendapat bahwa dengan asumsi inflasi tahun depan sebesar 4%, kenaikan upah riil hanya sekitar 2,5%. Hal ini berarti upaya pemerintah untuk meningkatkan daya beli pekerja mungkin sulit terwujud.
Implementasi di Berbagai Provinsi