Sosio-Demokrasi Bung Karno dan Wacana Pilkada Tidak Langsung
Wacana mengenai pengembalian mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) dari sistem langsung ke sistem tidak langsung, yakni melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), kembali muncul ke permukaan. Usulan ini menjadi salah satu isu politik yang menarik perhatian banyak pihak, mulai dari pengamat politik hingga masyarakat umum. Salah satu alasan yang sering dikemukakan adalah tingginya biaya politik dalam sistem pilkada langsung, yang disebut-sebut dapat menyebabkan praktik korupsi dan politik uang. Namun, wacana ini memicu perdebatan panjang, terutama dalam kaitannya dengan demokrasi yang telah diperjuangkan sejak reformasi 1998.
Pilkada langsung pertama kali diterapkan pada 2005, menggantikan sistem pemilihan melalui DPRD yang dianggap kurang akuntabel. Dengan pilkada langsung, masyarakat memiliki hak untuk memilih pemimpin mereka secara langsung, memberikan ruang lebih besar bagi partisipasi politik rakyat. Sistem ini merupakan salah satu capaian demokrasi yang signifikan setelah era reformasi, sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang terkandung dalam sila keempat Pancasila, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan."
Namun, wacana pengembalian ke sistem pemilihan tidak langsung telah bergulir sejak beberapa tahun terakhir. Pemerintah, melalui pernyataan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, menyatakan bahwa pengkajian terhadap mekanisme ini tidak melanggar konstitusi, sebab Undang-Undang Dasar 1945 tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa pemilihan kepala daerah harus dilakukan langsung. Dalam pandangan pemerintah, mekanisme ini memiliki kelebihan dalam menekan biaya politik yang tinggi.
Fakta menunjukkan bahwa biaya politik dalam pilkada langsung memang cukup besar. Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), rata-rata kandidat kepala daerah membutuhkan dana miliaran rupiah untuk berkampanye, termasuk untuk kebutuhan logistik, iklan, hingga operasional tim pemenangan. Biaya tinggi ini sering kali menjadi pemicu praktik politik uang dan korupsi, baik selama proses pilkada maupun setelah kandidat terpilih.
Di sisi lain, kritik terhadap wacana ini juga banyak bermunculan. Pengamat politik Titi Anggraini menyatakan bahwa mekanisme pemilihan tidak langsung berpotensi melemahkan demokrasi dan kedaulatan rakyat. Dalam sistem ini, kepala daerah akan dipilih oleh anggota DPRD, yang sering kali terpengaruh oleh kepentingan politik partai. Hal ini membuka peluang lebih besar terhadap praktik transaksional, di mana kandidat kepala daerah "membeli" dukungan politik dari anggota DPRD.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya telah menyatakan bahwa mekanisme pilkada langsung merupakan bagian dari prinsip demokrasi yang harus dijaga. Jika pemerintah ingin mengubah mekanisme ini, maka perubahan tersebut harus berdasarkan alasan yang sangat kuat dan mempertimbangkan dampak yang luas terhadap kualitas demokrasi di Indonesia.
Dalam perspektif sejarah, wacana ini dapat dikaitkan dengan praktik sosio-demokrasi yang pernah diterapkan Bung Karno pada era Demokrasi Terpimpin (1959-1966). Dalam sistem tersebut, Soekarno mengkritik keras demokrasi parlementer ala Barat yang dianggapnya tidak sesuai dengan nilai-nilai Indonesia. Ia mengusulkan model demokrasi yang lebih menekankan pada permusyawaratan dan gotong royong, dengan presiden sebagai pemimpin utama.
Namun, penerapan Demokrasi Terpimpin juga memiliki kelemahan signifikan. Sentralisasi kekuasaan di tangan presiden melemahkan peran legislatif, sementara partisipasi rakyat dalam politik menjadi terbatas. Era ini sering kali dianggap sebagai masa "otoritarianisme terkontrol" yang mengesampingkan prinsip-prinsip dasar demokrasi. Pelajaran dari era ini mengajarkan bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan keseimbangan kekuasaan dan ruang yang cukup bagi rakyat untuk terlibat secara langsung.
Dalam konteks pilkada, prinsip ini tetap relevan. Pilkada langsung memberikan peluang bagi masyarakat untuk secara aktif menentukan pemimpin mereka, sehingga akuntabilitas pemimpin kepada rakyat tetap terjaga. Sementara itu, mekanisme pemilihan melalui DPRD dinilai dapat menciptakan jarak antara rakyat dan pemimpin mereka.