Setelah jatuhnya Bashar al-Assad pada 8 Desember 2024, dinamika geopolitik di Timur Tengah semakin memanas. Rezim Assad, yang selama lebih dari lima dekade menguasai Suriah, runtuh setelah serangkaian kekalahan besar dari pasukan oposisi. Kota Damaskus berhasil dikuasai, dan Bashar al-Assad dilaporkan melarikan diri ke luar negeri dengan bantuan Rusia. Kejatuhan ini membuka babak baru konflik di kawasan yang sudah lama dilanda perang saudara dan ketegangan antarnegara.
Namun, kemenangan oposisi Suriah tidak serta merta membawa kedamaian. Justru, ancaman baru muncul, terutama terkait konflik potensial antara oposisi Suriah dan Israel, yang sejak lama memiliki hubungan penuh ketegangan dengan Suriah di bawah Assad.
Kejatuhan Assad: Apa yang Terjadi?
Pada awal Desember 2024, pasukan oposisi melancarkan serangan besar-besaran ke Homs, salah satu kota strategis di Suriah. Setelah pertempuran sengit selama 24 jam, oposisi berhasil merebut kota tersebut, yang menjadi kunci penghubung antara Damaskus dan wilayah pesisir Latakia, basis pendukung Assad. Selanjutnya, pasukan oposisi mengepung ibu kota Damaskus. Dalam waktu singkat, pertahanan pemerintah runtuh, dan pasukan loyalis Assad mundur secara besar-besaran.
Pada 8 Desember 2024, oposisi menyatakan kemenangan setelah menguasai Damaskus. Pada hari yang sama, kelompok Ha'yat Tahrir al-Sham (HTS) membebaskan tahanan di Penjara Sednaya, yang selama ini dikenal sebagai simbol represif rezim Assad. Meskipun kemenangan ini dirayakan oleh oposisi, perpecahan internal di antara berbagai faksi mulai menjadi tantangan nyata.
Oposisi Suriah: Siapkah Mereka?
Pasukan oposisi Suriah terdiri dari berbagai kelompok, termasuk Free Syrian Army (FSA), Ha'yat Tahrir al-Sham (HTS), Pasukan Dmokratik Suriah (SDF), Tentara Nasional Suriah (SNA) dan beberapa faksi kecil lainnya. Meski memiliki tujuan bersama untuk menggulingkan Assad, kelompok-kelompok ini memiliki ideologi dan agenda yang berbeda. HTS, misalnya, memiliki latar belakang Islamis yang kuat, sementara FSA lebih bersifat nasionalis. Ketidakharmonisan ini berpotensi melemahkan kekuatan oposisi dalam menghadapi ancaman eksternal.
Secara militer, oposisi Suriah bergantung pada senjata dan dukungan dari pihak asing, termasuk Turki dan negara-negara Teluk. Namun, kurangnya koordinasi dan struktur komando yang jelas membuat mereka sulit bersaing dengan kekuatan militer modern seperti Israel.
Israel: Sikap dan Ancaman
Bagi Israel, kejatuhan Assad membawa peluang dan risiko. Di satu sisi, Israel telah lama memandang Assad sebagai sekutu Iran, musuh utamanya di kawasan. Kejatuhan Assad berarti melemahnya pengaruh Iran di Suriah. Namun, di sisi lain, kekosongan kekuasaan di Suriah dapat dimanfaatkan oleh kelompok militan seperti HTS, yang memiliki pandangan ideologis "anti-Israel".