Amandemen UUD 1945 merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah politik Indonesia. Dilakukan dalam empat tahap antara 1999 hingga 2002, amandemen ini dirancang untuk memperbaiki berbagai kekurangan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Namun, bagi para penganut Marhaenisme, amandemen ini menyisakan pertanyaan mendasar: sejauh mana perubahan tersebut tetap berpegang pada cita-cita keadilan sosial yang diperjuangkan oleh Bung Karno?
Marhaenisme, sebagai ideologi politik yang berakar pada pemikiran Soekarno, menempatkan rakyat kecil (Marhaen) sebagai subjek utama dalam pembangunan bangsa. Dalam konteks ini, segala kebijakan, termasuk kerangka konstitusi, seharusnya diarahkan untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, setelah lebih dari dua dekade sejak amandemen terakhir, berbagai tantangan dalam realisasi keadilan sosial tetap mengemuka.
### **Landasan Ideologis Marhaenisme**
Marhaenisme memiliki tiga prinsip utama: nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme Indonesia. Ketiga prinsip ini saling berkaitan dalam upaya mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam konteks konstitusi, UUD 1945 sebelum amandemen mengandung banyak pasal yang mencerminkan semangat ini, seperti Pasal 33 yang menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, serta Pasal 34 yang mengatur kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin.
Namun, setelah amandemen, beberapa penganut Marhaenisme berpendapat bahwa semangat kolektivisme dan keberpihakan kepada rakyat kecil mulai tergerus. Salah satu contoh adalah perubahan Pasal 33 yang membuka peluang lebih besar bagi liberalisasi ekonomi. Jika sebelumnya pasal ini secara eksplisit mengutamakan pengelolaan sumber daya oleh negara untuk kemakmuran rakyat, maka pasca-amandemen, ruang bagi privatisasi dan mekanisme pasar menjadi lebih besar.
### **Kritik Terhadap Hasil Amandemen**
Hasil amandemen UUD 1945 sering dikritik karena dianggap lebih mencerminkan semangat liberalisme dibandingkan semangat keadilan sosial. Misalnya, privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terjadi sejak era reformasi kerap dianggap bertentangan dengan semangat Pasal 33. Data menunjukkan bahwa antara tahun 2000 hingga 2023, lebih dari 20 BUMN telah diprivatisasi, termasuk perusahaan strategis di sektor energi dan telekomunikasi. Hal ini mengakibatkan penguasaan sektor strategis oleh pihak asing dan swasta, sehingga mengurangi kontrol negara atas perekonomian.
Selain itu, Pasal 34 yang mengamanatkan perlindungan terhadap fakir miskin juga belum sepenuhnya terealisasi. Laporan BPS pada Maret 2023 mencatat bahwa angka kemiskinan di Indonesia mencapai 9,57%, yang setara dengan lebih dari 26 juta jiwa. Kondisi ini menunjukkan bahwa negara masih belum optimal dalam memenuhi kewajibannya terhadap rakyat miskin.
### **Marhaenisme dan Tantangan Globalisasi**
Di era globalisasi, tantangan bagi realisasi keadilan sosial semakin kompleks. Liberalisasi ekonomi yang dipercepat oleh amandemen UUD 1945 seringkali menjadi alasan mengapa kebijakan pro-rakyat sulit diwujudkan. Misalnya, pengaruh investor asing dalam pengambilan keputusan strategis kerap bertentangan dengan kepentingan rakyat kecil.