Reformasi partai politik menjadi langkah strategis untuk membenahi demokrasi Indonesia yang masih menghadapi tantangan mendasar. Meski selama dua dekade terakhir Indonesia sudah melewati beberapa pemilu secara terbuka, kelemahan struktural dalam sistem partai politik dan pemilu masih terlihat jelas, terutama pada Pemilu 2024 lalu.
Demokrasi kita belum sepenuhnya mampu menyentuh aspek substantif; keterbatasannya masih terfokus pada prosedural, dengan segudang masalah seperti korupsi, ketidaktransparanan, hingga lemahnya kaderisasi partai politik. Tanpa reformasi mendalam, risiko stagnasi politik dapat semakin memperburuk kualitas demokrasi.
Salah satu akar masalah partai politik di Indonesia adalah sistem kaderisasi yang belum matang. Kaderisasi, yang semestinya menjadi bagian utama dalam menjaga kualitas pemimpin di partai, sering kali diabaikan. Alih-alih fokus pada penyiapan kader kompeten, partai cenderung mengandalkan popularitas calon dan akses dana kampanye yang besar, yang menyebabkan kerap munculnya calon pemimpin yang tidak siap dan rawan terjebak dalam praktik korupsi.
Berdasarkan survei dan laporan yang diterbitkan oleh berbagai lembaga, kasus korupsi yang melibatkan elite politik meningkat signifikan, dengan beberapa kepala daerah yang dipilih melalui pemilu langsung justru tertangkap kasus korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa adanya sistem kaderisasi yang jelas dan terstruktur, demokrasi Indonesia berpotensi gagal melahirkan pemimpin berkualitas.
Ketidaktransparanan dalam keuangan partai juga menjadi persoalan besar. Di Indonesia, regulasi mengenai pendanaan partai politik masih lemah, sehingga banyak partai yang tidak transparan dalam melaporkan sumber dana dan alokasi anggarannya. Akibatnya, partai cenderung mengandalkan dana besar dari pihak tertentu, yang sering kali berujung pada konflik kepentingan. Hal ini berisiko menggerus integritas partai di mata publik.
Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), korupsi yang melibatkan elite politik terus meningkat setiap tahunnya, dan banyak pihak berpendapat bahwa hal ini terkait erat dengan lemahnya sistem pendanaan partai yang cenderung tertutup dan kurang akuntabel.
Dalam konteks pemilu, Pemilu 2024 yang lalu juga menyoroti kelemahan struktural pada penyelenggaraannya. Banyak keputusan hukum yang tidak dijalankan dengan konsisten oleh penyelenggara pemilu, seperti penataan daerah pemilihan (dapil) dan afirmasi keterwakilan perempuan. Tantangan-tantangan ini menambah daftar panjang hambatan dalam proses konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Menurut Perludem, demokrasi di Indonesia masih bersifat prosedural tanpa menyentuh hal-hal substantif yang sebenarnya menjadi esensi demokrasi itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa partai politik dan sistem pemilu membutuhkan perombakan mendalam agar demokrasi kita bisa menjadi lebih inklusif dan responsif.
Untuk memperkuat demokrasi, penting bagi Indonesia untuk mereformasi Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu. Revisi kedua undang-undang ini akan memastikan transparansi keuangan, memperketat mekanisme kaderisasi, dan memperbaiki tata kelola partai secara keseluruhan. Perludem mengingatkan bahwa partai politik sudah terlambat direformasi sejak 2011, sementara kebutuhan akan perbaikan regulasi partai sangat mendesak.
Proses reformasi ini diharapkan dapat dilakukan segera setelah pemerintahan baru terbentuk, untuk menjamin bahwa aturan yang disusun tidak tercampur oleh kepentingan politik tertentu.