Lihat ke Halaman Asli

Marhaenisme Ditengah Hegemoni AS-Rusia

Diperbarui: 7 November 2024   08:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi 

Marhaenisme, yang menekankan kemandirian dan keadilan sosial, menghadapi tantangan serius di tengah hegemoni global yang dipimpin Amerika Serikat dan Rusia. Saat dua kekuatan besar ini bersaing memperkuat dominasi mereka, kebijakan luar negeri mereka sering kali membawa ketidakstabilan dan konflik, terutama di kawasan yang dianggap penting secara strategis, seperti Eropa Timur dan Asia-Pasifik. Situasi ini semakin menguji prinsip-prinsip Marhaenisme yang berorientasi pada rakyat kecil, memaksa masyarakat untuk mencari jalan keluar dari tekanan geopolitik yang semakin besar.

Kebijakan luar negeri AS masih mendominasi banyak kawasan, terutama melalui dukungannya terhadap aliansi NATO dan investasi pertahanan. AS, di sisi lain, tetap mempertahankan peran pengawasan di berbagai wilayah, termasuk dalam konflik Rusia-Ukraina yang sedang berlangsung. AS menyuplai senjata dan dukungan logistik ke Ukraina, yang juga memberikan pengaruh kepada perusahaan senjata besar, seperti Lockheed Martin dan Raytheon. Bantuan besar-besaran ini sebenarnya menyoroti bagaimana kapitalisme AS terintegrasi dalam kebijakan luar negerinya, sekaligus menghidupkan kembali pengaruhnya di kawasan Eropa dan sekitarnya.

Di sisi lain, Rusia, yang sudah kehilangan statusnya sebagai kekuatan super utama, tetap berupaya memperkuat posisinya. Rusia secara terbuka mengkritik apa yang disebutnya sebagai "hegemonisme AS," sambil terus mempertahankan invasi terhadap Ukraina, dengan alasan untuk melindungi kepentingan strategis dan mengurangi pengaruh Barat. Rusia juga terlibat dalam upaya propagandis dan diplomatik untuk menentang dominasi AS, misalnya dengan menyokong kelompok-kelompok radikal di berbagai negara dan memperkuat aliansi dengan negara-negara non-Barat, termasuk China. Strategi ini terlihat dari tindakan Rusia yang berusaha memanfaatkan ketegangan di Timur Tengah dan memperkeruh konflik antara AS dan China terkait Taiwan, sebuah langkah yang diyakini akan menguntungkan kepentingan geopolitiknya.

Bagi Marhaenisme, yang menekankan pada kemandirian dan anti-penjajahan, dominasi AS dan Rusia dalam konflik global sangat problematik. Hegemoni ini tidak hanya mengancam kemandirian politik negara-negara kecil, tetapi juga menekan sumber daya yang seharusnya dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat. Alih-alih memberikan solusi berkelanjutan, hegemoni kedua negara ini malah memperburuk masalah kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Marhaenisme berpendapat bahwa negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, harus menolak terjebak dalam konflik kekuatan besar ini dengan tetap menjaga kemandirian dan tidak memihak, sebuah prinsip yang sejalan dengan konsep politik bebas aktif yang pernah diusung oleh Soekarno.

Kondisi ini juga didorong oleh fakta bahwa dalam beberapa tahun terakhir, propaganda dari Rusia dan AS sama-sama meningkat. AS mencoba membangun narasi bahwa konflik Ukraina adalah perang untuk demokrasi melawan otoritarianisme, sementara Rusia mencoba menciptakan persepsi tentang multipolaritas, yang justru ironis karena ambisinya sering kali bertentangan dengan ide multipolaritas itu sendiri. Sebagai contoh, Rusia telah memposisikan kekuatan nuklirnya sebagai alat untuk menakut-nakuti Barat dan mempertahankan pengaruhnya, yang sebenarnya berlawanan dengan prinsip multipolaritas yang damai.

Marhaenisme juga melihat risiko ekonomi dari pertarungan hegemoni ini. Dengan meningkatnya anggaran militer dan bantuan pertahanan AS untuk negara-negara mitranya, ada kekhawatiran bahwa ketergantungan ekonomi pada bantuan militer akan semakin memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi. Di Rusia, ketidakstabilan domestik meningkat seiring dengan berbagai langkah represif pemerintah terhadap oposisi internal dan pelanggaran HAM. Hal ini tidak hanya berisiko memperburuk kondisi masyarakat sipil Rusia sendiri, tetapi juga memberikan contoh buruk bagi negara-negara yang sedang berkembang yang masih menginginkan jalan demokrasi berkeadilan sosial.

Sebagai solusinya, Marhaenisme menawarkan pendekatan yang lebih memihak pada rakyat kecil dan anti-hegemoni. Masyarakat internasional, terutama negara-negara berkembang, dapat bersatu dalam forum-forum seperti G8, G20, G77 dan BRICS untuk menegakkan nilai-nilai kemandirian yang benar-benar terlepas dari pengaruh kedua negara adidaya ini. Marhaenisme juga mengingatkan pentingnya kembali pada politik nasionalisme yang lebih mengutamakan kesejahteraan rakyat daripada keterlibatan dalam konflik internasional. Gerakan sosial dan politik di Indonesia, misalnya, dapat mencontoh pendekatan ini dengan menggalakkan solidaritas ekonomi dan kemandirian yang jauh dari hegemoni kapitalisme dan otoritarianisme yang dibawa oleh kedua negara besar tersebut.

Di tengah dunia yang terus terpolarisasi oleh konflik kekuatan besar, Marhaenisme menyerukan untuk berfokus pada pembangunan ekonomi yang berbasis pada kebutuhan lokal dan kepentingan rakyat kecil, bukan pada agenda yang didikte oleh kepentingan geopolitik asing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline