Marhaenisme, sebagai ideologi yang digagas oleh Soekarno, lahir dari semangat perlawanan terhadap kolonialisme, kapitalisme, dan imperialisme yang menindas rakyat kecil. Dalam konteks saat ini, Marhaenisme tetap relevan sebagai alat analisis dan gerakan sosial untuk menghadapi tantangan globalisasi, ketidakadilan ekonomi, serta perubahan sosial yang terus berkembang. Pertanyaannya adalah, bagaimana Marhaenisme dapat menjawab tantangan zaman modern dengan segala kompleksitasnya?
1. Tantangan Globalisasi dan Ekonomi Kapitalistik
Era globalisasi telah membawa dampak yang sangat besar terhadap ekonomi, budaya, dan politik dunia, termasuk Indonesia. Dengan semakin terbukanya pasar internasional, sistem ekonomi kapitalistik semakin mendominasi, di mana korporasi multinasional mengambil peran signifikan dalam menentukan arah perekonomian global. Di tengah dominasi ini, kaum Marhaen yang meliputi petani kecil, buruh, dan nelayan, semakin terpinggirkan.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi di Indonesia masih menjadi persoalan besar. Pada 2023, indeks Gini---ukuran ketimpangan pendapatan---berada di angka 0,384, yang menunjukkan ketidakmerataan distribusi pendapatan di masyarakat. Artinya, sebagian kecil kelompok masyarakat memiliki kekayaan yang jauh lebih besar daripada mayoritas penduduk lainnya. Marhaenisme, yang mengedepankan keadilan sosial dan distribusi kekayaan yang merata, menawarkan solusi melalui penguatan ekonomi kerakyatan, seperti koperasi dan usaha kecil menengah (UKM) sebagai sarana untuk melawan ketergantungan terhadap modal asing dan perusahaan besar.
2. Krisis Lingkungan dan Ekonomi Hijau
Tantangan besar lainnya di abad ke-21 adalah krisis lingkungan. Marhaenisme yang menekankan kedaulatan rakyat atas sumber daya alam relevan dengan isu-isu keberlanjutan lingkungan. Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki kekayaan alam yang luar biasa, namun eksploitasi yang berlebihan oleh perusahaan tambang dan perkebunan sawit telah menyebabkan deforestasi masif, kerusakan ekosistem, serta bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, laju deforestasi di Indonesia mencapai 115 ribu hektar per tahun pada 2022, terutama di wilayah Kalimantan dan Sumatra. Kerusakan ini mengancam kehidupan rakyat kecil yang bergantung pada hasil alam. Marhaenisme, yang berakar pada perjuangan petani kecil seperti Marhaen---seorang petani miskin yang ditemui Soekarno---mendorong pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berpihak pada kesejahteraan rakyat, bukan keuntungan segelintir elite.
Ideologi ini dapat menjadi dasar bagi penerapan ekonomi hijau di Indonesia, yang mengutamakan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Salah satu caranya adalah dengan mendukung pertanian organik dan energi terbarukan, di mana petani dan nelayan lokal mendapatkan akses lebih besar terhadap teknologi dan pasar yang lebih adil.
3. Teknologi dan Keadilan Sosial
Di era digital, teknologi telah mengubah hampir semua aspek kehidupan, dari cara kita bekerja, berinteraksi, hingga berproduksi. Namun, revolusi teknologi ini juga menghadirkan tantangan baru bagi kaum Marhaen. Sementara teknologi menawarkan potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan, ada risiko ketimpangan baru muncul jika akses terhadap teknologi hanya dimonopoli oleh segelintir orang.