Lihat ke Halaman Asli

Pilkada 2017 Jauh Lebih Jelek Dibanding Pemilu 1997

Diperbarui: 13 Oktober 2024   17:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi 

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017 kerap dipuji sebagai salah satu tonggak dalam demokrasi lokal di Indonesia. Namun, jika dibandingkan dengan Pemilihan Umum (Pemilu) 1997, khususnya dari segi kualitas demokrasi, representasi politik, dan integritas proses pemilihan, perbedaan antara keduanya sangat mencolok. Meskipun Pemilu 1997 dilangsungkan pada masa Orde Baru yang terkenal dengan otoritariannya, beberapa aspek yang mendasari proses politik pada masa itu, ironisnya, tampak lebih tertata dibandingkan dengan Pilkada 2017.

1. Stabilitas Politik vs Polarisasi yang Mendalam

Salah satu keunggulan utama Pemilu 1997 adalah stabilitas politik yang dihasilkan oleh sistem yang dikontrol ketat oleh pemerintah pusat. Meskipun rezim Suharto melakukan berbagai manipulasi dalam pemilu, kondisi sosial-politik relatif lebih stabil, tidak terjadi ketegangan yang mengancam kohesi sosial masyarakat secara langsung. Di sisi lain, Pilkada 2017, terutama di Jakarta, menunjukkan fenomena polarisasi yang sangat kuat di masyarakat. Isu agama menjadi senjata politik, dan ini menyebabkan perpecahan tajam antara kelompok-kelompok masyarakat yang berpotensi memecah persatuan bangsa.

Menurut survei dari LSI (Lembaga Survei Indonesia), pasca-Pilkada 2017, polarisasi antara pemilih berdasarkan agama dan identitas etnis meningkat tajam. Isu agama dalam kampanye menjadi alat mobilisasi politik yang sangat efektif, namun berdampak buruk terhadap kohesi sosial. Konflik ini memunculkan ketidakstabilan sosial-politik yang jauh lebih buruk dibandingkan Pemilu 1997, yang meskipun otoriter, tidak memanfaatkan perbedaan identitas untuk memecah masyarakat.

2. Kualitas Kandidat: Profesionalisme Vs. Populisme

Pemilu 1997 walaupun berlangsung dalam atmosfer politik yang dikendalikan oleh Golkar dan dibayang-bayangi oleh pemerintah, tetap menghasilkan figur-figur politik dengan latar belakang yang lebih profesional dan berpengalaman. Kaderisasi di tubuh partai, meski terpusat pada Golkar, menghasilkan politisi yang memiliki kompetensi teknis dan pengalaman dalam mengelola pemerintahan, terutama pada tingkat nasional.

Sebaliknya, Pilkada 2017 memunculkan tren populisme yang lebih kental. Calon-calon kepala daerah, khususnya di Pilkada DKI Jakarta, lebih banyak mengandalkan narasi populis untuk meraih suara, dibandingkan menawarkan solusi yang nyata bagi permasalahan perkotaan. Salah satu contohnya adalah penggunaan isu-isu sektarian dan penguatan retorika populis oleh sejumlah kandidat untuk menarik perhatian pemilih yang tidak kritis.

3. Manipulasi yang Lebih Terbuka di Pilkada 2017

Jika kita menganggap Pemilu 1997 sebagai proses yang penuh manipulasi terselubung di bawah kendali negara, Pilkada 2017 justru membuka celah bagi manipulasi yang lebih subtil tetapi sistematis. Pemanfaatan media sosial, berita bohong (hoaks), dan penggunaan akun anonim untuk mendiskreditkan lawan politik adalah bukti bahwa manipulasi politik yang terjadi di Pilkada 2017 lebih canggih namun lebih berbahaya dalam jangka panjang.

Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan bahwa pada masa Pilkada 2017, terjadi lonjakan tajam penyebaran berita hoaks, terutama yang berkaitan dengan isu politik. Manipulasi opini publik melalui media sosial ini tidak hanya membahayakan integritas proses pemilihan, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline