Max Stirner adalah salah satu tokoh yang sering diabaikan dalam sejarah filsafat modern, meskipun gagasan-gagasannya memberikan pengaruh signifikan terhadap berbagai aliran pemikiran, termasuk nihilisme, anarkisme, dan eksistensialisme. Nama asli Stirner adalah Johann Kaspar Schmidt, namun ia lebih dikenal dengan nama pena "Max Stirner." Dalam karyanya yang paling terkenal, Der Einzige und Sein Eigentum (The Ego and Its Own), Stirner menekankan ide radikal tentang individualisme egoistis yang sering dikaitkan dengan nihilisme. Pandangannya yang menolak otoritas, moralitas universal, dan konstruksi sosial menjadikannya salah satu tokoh paling kontroversial dalam filsafat.
Konteks Nihilisme
Untuk memahami nihilisme egoistis yang dikemukakan oleh Stirner, pertama-tama kita perlu memahami konsep nihilisme itu sendiri. Secara umum, nihilisme adalah pandangan yang menyangkal makna intrinsik dalam kehidupan, nilai-nilai moral, atau bahkan realitas objektif. Nihilisme sering dikaitkan dengan ketiadaan tujuan atau makna yang lebih tinggi, yang bisa menyebabkan perasaan putus asa atau ketidakberartian dalam kehidupan manusia. Namun, nihilisme juga bisa dilihat sebagai peluang untuk kebebasan radikal, di mana individu dibebaskan dari keterikatan pada norma, aturan, atau keyakinan yang dipaksakan oleh masyarakat.
Stirner mengambil posisi yang lebih ekstrem dalam kerangka nihilisme ini. Ia tidak hanya menolak Tuhan, negara, dan masyarakat sebagai konstruksi yang mengontrol individu, tetapi juga menolak konsep "Aku" yang mendasari subjektivitas. Baginya, semua bentuk otoritas eksternal maupun internal adalah bentuk-bentuk perbudakan yang harus dihancurkan.
Egoisme Radikal: Penolakan Terhadap Semua Bentuk Otoritas
Stirner memulai kritiknya dengan menolak berbagai entitas yang dianggap sebagai otoritas tertinggi, baik agama, negara, moralitas, maupun humanisme. Dalam The Ego and Its Own, Stirner dengan tegas menyatakan bahwa semua institusi tersebut hanyalah fiksi sosial yang diciptakan untuk mengekang individu. Menurut Stirner, manusia telah terlalu lama terjebak dalam ide-ide abstrak seperti "Tuhan," "Kebenaran," "Keadilan," dan bahkan "Kemanusiaan." Ide-ide ini, dalam pandangan Stirner, adalah "spooks" atau hantu yang mengontrol dan membatasi kebebasan individu.
Dengan meruntuhkan konstruksi-konstruksi tersebut, Stirner mendorong individu untuk menegaskan kebebasan sepenuhnya melalui apa yang ia sebut sebagai Einzige, atau "sang Satu." Individu, menurut Stirner, harus hidup demi dirinya sendiri, tanpa terikat pada tujuan, nilai, atau kewajiban eksternal apa pun. Egoisme Stirner bukanlah sekadar egoisme etis yang menekankan kepentingan pribadi di atas segalanya, tetapi merupakan nihilisme egoistis, di mana individu tidak tunduk pada otoritas moral apa pun, termasuk otoritas moral yang datang dari dalam dirinya sendiri.
Kritik Terhadap Humanisme dan Moralitas Universal
Salah satu sasaran utama kritik Stirner adalah humanisme, terutama humanisme liberal yang mendewakan kemanusiaan sebagai entitas moral tertinggi. Stirner melihat humanisme sebagai bentuk lain dari agama, di mana "Manusia" menggantikan "Tuhan" sebagai entitas tertinggi. Dalam pandangan humanis, individu dipaksa untuk tunduk pada moralitas universal yang berlaku untuk semua orang. Namun, bagi Stirner, moralitas universal ini sama tiraninya dengan dogma-dogma agama.
Dalam konteks ini, Stirner mengklaim bahwa setiap individu harus bertindak berdasarkan kepentingan egoistisnya sendiri, tanpa merasa terikat pada moralitas sosial atau etika yang dikontruksikan oleh orang lain. Dalam bahasa Stirner, "Aku tidak mendasarkan keegoisanku pada sesuatu yang lebih tinggi, karena aku sendiri adalah yang tertinggi." Dengan demikian, segala tindakan individu tidak perlu mendapat legitimasi dari konsep moral yang lebih tinggi atau dari nilai-nilai kemanusiaan. Sebaliknya, semua tindakan sah selama tindakan tersebut sesuai dengan kehendak dan kepentingan individu itu sendiri.