Sejarah Indonesia tidak dapat dilepaskan dari dua nama besar yang memiliki pengaruh mendalam terhadap perjalanan bangsa ini: Soekarno dan Soeharto. Keduanya adalah figur sentral yang membawa perubahan besar dalam politik, ekonomi, dan kehidupan sosial Indonesia. Meski demikian, hubungan antara Soekarno, yang akrab dipanggil Bung Karno, dan Soeharto penuh dengan tensi dan perbedaan pandangan politik. Hal ini memunculkan pertanyaan besar: bisakah kedua tokoh besar ini berdamai dengan sejarah, meskipun dalam dunia pasca-kematian?
Latar Belakang: Bung Karno dan Soeharto
Soekarno adalah proklamator kemerdekaan Indonesia, presiden pertama, dan tokoh utama yang merumuskan dasar negara, Pancasila. Perannya dalam memperjuangkan kemerdekaan dan membentuk negara yang berdaulat, merdeka, dan berkeadilan sosial menjadikannya figur yang sangat dihormati dalam sejarah Indonesia. Sebaliknya, Soeharto adalah presiden kedua Indonesia yang memerintah selama lebih dari tiga dekade melalui Orde Baru, setelah menggantikan Soekarno melalui serangkaian peristiwa politik yang dipicu oleh Gerakan 30 September 1965.
Hubungan antara Soekarno dan Soeharto mulai menegang pada pertengahan 1960-an ketika konflik internal di pemerintahan Soekarno semakin meningkat. Pada saat itu, Soeharto naik ke tampuk kekuasaan setelah kudeta militer yang membalikkan posisi Soekarno, yang dituduh oleh beberapa pihak terlalu dekat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Soeharto memulai Orde Baru dengan narasi kuat mengenai "penyelamatan negara" dari ancaman komunis, sementara posisi Soekarno sebagai pemimpin bangsa perlahan-lahan dikesampingkan dan reputasinya dipersalahkan dalam konteks politik waktu itu.
Perbedaan Pandangan dan Kepemimpinan
Perbedaan pandangan antara Soekarno dan Soeharto tampak jelas dalam gaya kepemimpinan mereka. Soekarno memiliki visi politik yang penuh dengan ideologi dan retorika besar. Ia adalah seorang orator ulung yang mampu menggerakkan massa dengan pidato-pidato kebangsaannya yang membangkitkan semangat nasionalisme dan anti-imperialisme. Gagasan-gagasannya tentang "berdikari" dan anti-Barat seringkali menjadi pedoman dalam kebijakan luar negeri dan ekonominya. Soekarno bermimpi menjadikan Indonesia sebagai negara pemimpin di dunia ketiga, berdiri tegak melawan dominasi kekuatan Barat.
Di sisi lain, Soeharto lebih pragmatis. Sebagai seorang militer, Soeharto lebih fokus pada stabilitas dan pembangunan ekonomi. Setelah naik ke kekuasaan, Soeharto menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menjadi lebih pro-Barat dan membuka pintu bagi investasi asing. Orde Baru memfokuskan diri pada pembangunan ekonomi, stabilitas politik, dan keamanan nasional dengan cara-cara yang seringkali represif terhadap lawan politik dan suara-suara kritis. Stabilitas adalah mantra Soeharto, sedangkan retorika dan visi besar adalah kekuatan Soekarno.
Dendam Sejarah atau Pelajaran?
Pertanyaan yang sering muncul di benak banyak orang adalah apakah kedua tokoh ini bisa 'berdamai' dengan sejarah? Pada dasarnya, yang dimaksud dengan berdamai dengan sejarah bukan hanya tentang bagaimana kedua tokoh ini memandang masa lalu, tetapi juga bagaimana bangsa ini bisa memandang warisan mereka secara lebih utuh dan adil.
Bung Karno, selama Orde Baru, dijauhkan dari sejarah resmi. Pemikiran dan gagasannya dipinggirkan, bahkan dicap negatif oleh narasi Orde Baru yang cenderung menekankan aspek kegagalan ekonomi dan kedekatannya dengan PKI. Baru setelah jatuhnya Soeharto, Soekarno kembali diterima secara lebih luas dalam narasi sejarah Indonesia, dengan penekanan pada perjuangan kemerdekaan dan gagasan besarnya tentang kebangsaan.