Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) adalah instrumen fundamental dalam menjalankan demokrasi di Indonesia. UU ini berfungsi sebagai landasan hukum yang mengatur tata cara pelaksanaan pemilu, menentukan hak dan kewajiban warga negara, serta memastikan adanya proses demokrasi yang adil, transparan, dan bebas dari manipulasi.
Namun, dalam perjalanannya, UU Pemilu di Indonesia telah mengalami banyak kritik dan dianggap perlu direformasi demi menjaga kualitas demokrasi yang semakin baik. Oleh karena itu, desakan untuk melakukan reformasi terhadap UU Pemilu semakin menguat dan perlu segera direalisasikan.
### **Masalah Utama dalam UU Pemilu**
UU Pemilu yang ada saat ini dinilai memiliki sejumlah kelemahan yang signifikan. Salah satu masalah terbesar adalah tingginya ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang diterapkan.
Ambang batas ini mengharuskan partai atau gabungan partai untuk mendapatkan minimal 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional untuk bisa mencalonkan presiden.
Akibatnya, hanya partai-partai besar yang memiliki peluang untuk mencalonkan kandidat presiden, sehingga ruang bagi munculnya calon independen atau dari partai kecil menjadi sangat terbatas. Ini mencederai prinsip demokrasi yang seharusnya memberikan kesempatan yang sama bagi semua pihak.
Selain itu, sistem pemilu proporsional terbuka yang saat ini diterapkan juga menghadirkan masalah tersendiri. Meskipun memberikan kebebasan bagi pemilih untuk memilih calon yang diinginkan, sistem ini justru memicu persaingan yang tidak sehat di antara calon-calon dari partai yang sama.
Persaingan internal yang ketat sering kali berujung pada konflik di dalam tubuh partai, bahkan bisa memicu politik uang yang semakin marak. Hal ini tentu saja merusak moralitas politik dan mengabaikan prinsip-prinsip etika yang seharusnya dijunjung tinggi dalam demokrasi.
### **Keterwakilan Perempuan dan Kelompok Minoritas**
Reformasi UU Pemilu juga mendesak untuk dilakukan demi meningkatkan keterwakilan perempuan dan kelompok minoritas dalam proses politik. Meskipun UU Pemilu telah menetapkan kuota 30% bagi keterwakilan perempuan di legislatif, implementasinya masih jauh dari harapan.