Langit yang dihiasi lembayung senja perlahan memudar menjadi gelap ketika Sari menyeret langkahnya keluar dari rumah kecil itu demi mendorong sebuah
kursi roda tua.Kursi itu kosong, hanya dihiasi sebuah bantal lusuh yang warnanya mulai memudar, seperti hidup yang ditinggalkan oleh pemiliknya.
Dan di atas rerumputan yang mulai liar, ia berhenti. Hatinya terasa sesak saat memandang kursi roda kosong itu, seperti ada beban yang tak pernah hilang meski waktu terus berjalan.
Kursi roda itu adalah peninggalan ibunya, Bu Mirna. Lima tahun terakhir hidupnya dihabiskan di kursi itu, sejak stroke merenggut kemampuan tubuhnya untuk berdiri.
Namun kursi roda itu lebih dari sekadar alat bantu. Kursi roda itu adalah saksi bisu kasih sayang seorang ibu dan perjuangan seorang anak yang rela melakukan apa pun demi kebahagiaan ibunya.
Sari kembali memandangi kursi itu dengan mata yang perlahan terlihat memerah.
Tergambarlah kenangan demi kenangan melintas begitu saja di benaknya. Ia ingat bagaimana dulu dirinya sering pulang kerja dengan tergesa-gesa, takut ibunya terlalu lama sendirian.
"Sari, kamu pulang lebih cepat hari ini ya?" suara pelo ibunya terngiang di telinganya.
Waktu itu, Bu Mirna selalu tersenyum meski terlihat tidak indah oleh bentuk bibirnya yang miring ke bawah dengan tubuhnya terlihat begitu lemah.
Sari pun selalu berpura-pura ceria di depan ibunya, menutupi kelelahan dari pekerjaan yang menuntut hampir seluruh tenaganya. Tapi di dasar hatinya, ia tahu betapa berat hidup yang harus mereka jalani itu.
Ibunya jarang mengeluh. Meski tubuhnya tak lagi sempurna, ia selalu berkata, "Ibu sudah cukup bahagia dengan melihat kamu sehat dan tersenyum, Nak."