Menjadi pekerja film bukanlah cita-cita saya di masa kecil walaupun kedua orang tua saya pernah aktif di perfilman sebelum akhirnya pensiun sebagai pegawai TVRI.
Di masa saya kecil dan remaja, pekerja film pun saya rasa belum menjadi pilihan profesi, setidaknya kalah dengan "cita-cita pasaran" anak kecil seperti ingin menjadi dokter, tentara, polisi, pilot, dan sebagainya.
Hingga pada akhirnya saya mengenal produksi film dan jatuh cinta sejak tahun 2002, mulai dari berkomunitas hingga terjun ke industri film dan televisi.
Dan saat menjalaninya, begitu banyak fenomena yang juga dirasakan mulai dari karya yang dikritik dan dianggap tidak memenuhi standar.
Standar perfilman dan televisi kita untuk menjadi sebuah karya itu apa?
Inilah yang sangat menjadi pertanyaan besar saya saat itu, karena ketika bertemu beberapa produser, mulai dari Production House, Televisi "plat merah", televisi swasta, saat saya tanyakan hal tersebut, mereka malah menunjukkan standar yang absurd.
"Bikin dong film yang standarnya Holywood di Amerika, India, Korea, Thailand..." ucap mereka jika saya simpulkan.
Weeww...bukankah negara kita bernama Indonesia? Senista itukah hingga bangsa dan negara besar ini sendiri tidak memiliki standar produksi dan acuan serta "platform" di dalam menghasilkan karyanya?
"Buat cerita itu harus unik, Dimas," pernah pula saya diminta dan dinasihati oleh seorang Produser.
"Unik itu seperti apa? Kalo menurut saya unik tapi tidak menurut Anda dan penonton gimana?" balas saya.
Krik..krik..krik..hening dan hanya bunyi jangkrik yang terdengar...